Quantcast
Channel: Features – Jagat Review
Viewing all 1760 articles
Browse latest View live

Preview Tales of Xillia 2: Tak Sekedar Lanjutkan Cerita!

$
0
0
Tales of Xillia 2

Tales of Xillia 2

Tales of Xillia 2 Menjelang masa akhir hidupnya, Playstation 3 memang harus diakui masih mampu membuktikan diri sebagai sebuah konsol gaming yang menarik untuk dimiliki. Walaupun ia tidak mampu lagi menampilkan kualitas visual yang sepadan dengan perkembangan konsol generasi terbaru dan PC, ia masih tetap diperkuat dengan beberapa game eksklusif yang terlalu sayang untuk dilewatkan, terutama mereka yang merindukan game-game JRPG yang berkualitas. Selain Tales of Zestiria, Playstation 3 juga akan mendapatkan salah satu proyek JRPG yang paling diantisipasi – Persona 5 tahun depan. Namun tidak hanya kedua nama itu saja, setelah penantian yang cukup lama, Bandai Namco juga akhirnya merilis Tales of Xilla 2 versi translasi Inggris belum lama ini. Kesempatan untuk mencicipi game yang sempat dirilis di Jepang 2 tahun lalu ini akhirnya terbuka.

Kesan Pertama

Secara visual, kesan pertama yang dihadirkan Tales of Xillia 2 memang tidak berbeda banyak dengan seri pertamanya. Anda akan menemukan gaya visual yang sama, dengan beberapa setting yang tetap dipertahankan, menciptakan atmosfer yang familiar bagi mereka yang sudah memainkan seri pertamanya. Yang berbeda mungkin ada presentasi beberapa karakter lawas yang kini hadir dengan penampilan yang baru. Sebagai sebuah sekuel, tentu menjadi sesuatu yang sangat disarankan bagi Anda untuk memainkan seri pertamanya terlebih dahulu sebelum mencicipi Tales of Xillia 2 ini. Mengapa? Karena keterkaitan yang sangat kuat dan minimnya usaha Bandai Namco untuk kembali menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di seri sebelumnya. Salah satu cara alternatif dalam menonton video ringkasan cerita di Tales of Xillia yang dirilis oleh akun Youtube resmi Playstation. Walaupun mengusung setting dan karakter yang tidak banyak berbeda daripada seri pertamanya, Tales of Xillia 2 bukanlah sekedar seri yang melanjutkan cerita tanpa inovasi baru apapun di sisi gameplay. Seperti halnya game seri Tales selama ini, Anda akan terlibat dalam mekanik pertempuran aktif yang sama, dimana Anda mengendalikan secara penuh pergerakan dan serangan sang karakter utama. Namun tidak seperti seri sebelumnya yang lebih mencitrakan sensasi Tales klasik, Tales of Xillia 2 hadir dengan beberapa perubahan signifikan. Salah satu yang cukup mencolok adalah karakter utama yang kini lebih “kaya”. Karakter pria utama – Ludger Kresnik ternyata dipersenjatai dengan beberapa variasi senjata yang bisa diganti secara real time di dalam pertempuran dan secara otomatis mengubah gaya ia bertarung. Implementasi sistem elemen, kelemahan dan kekuatan masing-masing monster yang unik juga diperkuat di sini. Selain mekanik pertempuran, ada beberapa fitur “khas” seri Tales yang juga diubah di sini. Sebagai contoh? Sistem mempelajari skill. Tidak lagi sekedar harus mengalahkan musuh atau menyerang dengan skill sama hingga mencapai jumlah tertentu, sistem bernama “Allium Orbs”  kini disuntikkan untuk memberikan ruang kebebasan lebih besar bagi Anda untuk membuka dan memperkuat skill tertentu. Semuanya juga didasarkan pada sistem elemen. Xillia 2 juga mengusung sistem baru bernama “Kitty Dispatcher” yang memungkinkan Anda untuk memerintah kucing Anda – Rollo untuk bergerak ke sudut dunia dan mencari item-item berharga secara acak. Namun satu perubahan yang terhitung paling signifikan adalah dihadirkannya sistem pilihan jawaban yang akan menentukan variasi aksi yang bisa diambil Ludger. Menariknya lagi? Tales of Xillia 2 akan memaksa Anda untuk bergerak dan berpetulang dengan satu motif utama – melunasi utang. Melunasi utang? Kita akan membahas hal tersebut lebih dalam di artikel review minggu depan. Sembari menunggu waktu yang lebih proporsional untuk melakukan review Tales of Xillia 2 yang tampaknya akan memakan waktu cukup panjang ini, izinkan kami melemparkan beberapa screenshot “segar” ini untuk membantu Anda mendapatkan sedikit gambaran akan pesona dan mekanik seperti apa yang ditawarkan. Long time no see, JRPG.. Tales of Xillia 2 Tales of Xillia 2 Tales of Xillia 2 Tales of Xillia 2 Tales of Xillia 2 Tales of Xillia 2 Tales of Xillia 2 Tales of Xillia 2 Tales of Xillia 2 Tales of Xillia 2 Tales of Xillia 2 Tales of Xillia 2 Tales of Xillia 2 Tales of Xillia 2

20 Karakter Wanita Antagonis Video Game Paling Keren!

$
0
0
feat-image (4)

feat-image (4)

feat-image Damsel in Distress merupakan salah satu konsep yang paling sering diusung video game di awal kehadirannya sebagai cabang industri hiburan yang baru. Cerita dimana wanita diposisikan sebagai seorang karakter tanpa kekuatan yang terus menjadi korban dan harus diselamatkan oleh sang karakter utama tumbuh menjadi sebuah formula cerita tanpa celah. Sederhana untuk dimengerti, mudah untuk dieksekusi, dan minim resiko di sisi gameplay, ia terbukti berhasil di beberapa judul game legendaris seperti Mario, Legend of Zelda, bahkan Double Dragon sekalipun. Namun seiring dengan perkembangan industri game, Damsel in Distress tidak lagi dilihat sebagai sesuatu yang relevan. Emansipasi juga terjadi di industri game. Sosok karakter wanita yang selama ini selalu menjadi korban kini mengalami pergeseran peran yang cukup signifikan. Alih-alih hanya sekedar tampil cantik, lemah, dan menunggu dengan sabar untuk diselamatkan, banyak karakter wanita kini diproyeksikan sebagai sosok yang sama kuatnya dengan pria, bahkan memainkan posisi yang lebih penting di dalam cerita daripada sekedar menunggu tanpa berbuat apa-apa. Maka kita bertemu dengan karakter seperti Elizabeth dari Bioshock Infinite,  Ellie dari The Last of Us, Samus dari Metroid, hingga Peach dari Mario yang kini berperan lebih aktif untuk melindungi kerajaannya. Namun tidak hanya sekedar karakter utama atau protagonis, tidak sedikit karakter wanita yang juga diposisikan sebagai pihak antagonis, musuh-musuh yang senantiasa menjadi penghalang utama Anda dan harus ditundukkan. Kejam, tanpa ampun, terlibat dalam plot yang membuat cerita sebuah game kian dramatis, karakter-karakter antagonis wanita ini memang menjadi salah satu bumbu rahasia yang berhasil membuat sebuah game tampil lebih menarik. Tidak hanya dari karakter saja, beberapa bahkan didukung dengan kualitas desain yang “memanjakan mata”, setidaknya untuk para gamer pria. Lantas, dari semua karakter antagonis wanita di industri game, manakah yang pantas dikategorikan sebagai yang terkeren, baik dari sisi desain maupun kepribadian? JagatPlay memilih 20 diantaranya:

20. Xenobia [Lunar Silver Star Story]

xenobia lunar Yang tertua di antara tiga bersaudara, seorang penyihir yang diposisikan sebagai orang dua terkuat di semesta Lunar: Silver Star Story. Sesignifikan itulah peran Xenobia di dalam semesta salah satu game RPG klasik yang satu ini. Menjadi salah satu pelindung utama – Magic Emperor Ghaleon, Xenobia tidak hanya setia untuk memastikan dominasi sang tuan, tetapi juga mengembangkan rasa cinta untuknya. Kesetiaan dan sikap memuja Ghaelon tanpa tanda tanya inilah yang membuat Xenobia tampil sebagai karakter yang sulit dilupakan di Lunar, apalagi dari desain fisik yang disematkan untuknya.

19. Sialeeds Falenas [Suikoden V]

sialeeds Apa yang statusnya jauh lebih rendah dari seorang musuh yang sejak awal terang-terangan menunjukkan sikap oposisi terhadap apapun yang Anda lakukan? Benar sekali, seorang pengkhianat. Hal inilah yang dilakukan oleh Sialeeds Falenas. Berperan sebagai bibi dari sang karakter utama yang senantiasa mendukung semua hal yang kita lakukan, Sialeeds baru memperlihatkan “wujud aslinya” di pertengahan permainan. Padahal sejak awal permainan, ia terlihat sebagai sosok yang bisa diandalkan, teman sang karakter utama bisa meminta beragam saran dan pendapat terlepas dari betapa sulitnya situasi yang harus dihadapi. Pengkhianatan Sialeeds menjadi salah satu momen yang cukup mengejutkan di Suikoden V, menghancurkan hati mereka yang menaruh harapan besar pada karakter yang satu ini. Ia juga didesain dengan bentuk fisik yang tergolong memanjakan mata untuk seorang karakter dari franchise Suikoden.

18. Alma Wade [Fear]

alma wade Alma adalah sosok wanita yang tidak akan pernah ingin Anda temui sepanjang hidup. Karakter yang mungkin sempat membuat Anda melempar mouse atau kontroler ke seberang ruangan ini memang menjadi mimpi buruk tersendiri bagi Anda yang sempat memainkan Fear sebelumnya. Lahir sebagai anak perempuan dengan kekuatan supernatural yang luar biasa, ia ditakdirkan hidup sebagai subjek penelitian yang secara konsisten menerima perlakuan kasar non-manusiawi hanya untuk memastikan kekuatannya bisa muncul secara maksimal. Hasilnya? Sebuah entitas yang siap untuk mencabut nyawa Anda tanpa pertanyaan.

17. Jessica Sherawat [Resident Evil: Revelations]

jessica sherawat Jessica Sherawat memang terhitung sebagai karakter baru untuk franchise Resident Evil yang sudah hidup untuk waktu yang cukup lama. Namun kehadirannya di Resident Evil: Revelations  meninggalkan kesan yang cukup mendalam untuk mereka yang mencintai seri yang satu ini. Seperti halnya yang dilakukan oleh Sialeeds, Jessica ternyata berakhir menjadi seorang pengkhianat di dalam tubuh BSAA sendiri. Segala usaha yang ia lakukan semata-mata bertujuan untuk menghancurkan beragam barang bukti yang mungkin mengarah pada “tuan”-nya sendiri. Jessica Sherawat juga berpotensi hadir sebagai karakter kunci untuk seri Revelations selanjutnya setelah ending menggantung yang dihadirkan.

Review Swing Copters: %!@#*&%#@^!!!

$
0
0
swing copters

swing copters

swing copters Tidak bisa lagi diprediksi, kalimat yang satu ini tampaknya tepat untuk menggambarkan kondisi industri game saat ini. Bagaimana tidak? Terlepas dari beberapa franchise raksasa yang terus mempertahankan domniasi genre mainstream lewat tingkat penjualan yang selalu fantastis, gamer terlihat “haus” untuk menikmati game yang jauh lebih unik, bahkan jika bisa, bergerak di luar nalar. Fenomena inilah yang menjelaskan popularitas game-game seperti Surgeon Simulator dan Goat Simulator di industri game saat ini. Sementara di pasar mobile yang lebih banyak dikuasai casual gamer, fenomean ini terjadi dengan satu nama “Flappy Bird”. Secara desain, Flappy Bird memang tidak banyak berbeda dengan sebagian besar game mobile lain yang diciptakan untuk sekedar menghabiskan waktu. Secara visual dan audio, ia sama sekali tidak menjual. Namun apa yang terjadi? Game yang diracik oleh developer asal Vietnam – Dong Nguyen ini ternyata meledak di pasaran, menjadi salah satu game yang paling diincar di platform Android dan iOS beberapa bulan yang lalu. Namun kontroversi ternyata menyeret sang developer ke dalam sebuah konflik moral. Takut bahwa gamenya justru akan membuat terlalu banyak orang teradiksi, Dong Nguyen memutuskan untuk menarik Flappy Bird dari pasaran terlepas dari popularitas yang masih cukup tinggi di kala itu. Namun ia kini kembali dengan sebuah judul game baru – Swing Copters. Lantas, pesona seperti apa yang ditawarkan oleh game yang satu ini? Mengapa kami menyebutnya sebagai game yang “%!@#*&%#@^!” ? Review ini akan membahasnya lebih dalam untuk Anda.

Flappy Bird “Vertikal”

Jika bisa disimpulkan dengan 1 kata, Swing Copters bisa disamakan dengan "Flappy Bird" vertikal. Jika ada satu kata yang bisa diguanakn untuk mendefinisikan keseluruhan gameplay yang ditawarkan oleh Swing Copters, maka “Flappy Bird Vertikal” tampaknya menjadi kalimat yang paling tepat. Seperti proyek game sebelumnya, Swing Copters juga meminta Anda untuk melewati celah rintangan yang ada tanpa batas. Untuk setiap satu rintangan yang terlewati, Anda akan mendapatkan satu ekstra point. Tidak ada akhir game, tujuan utama memainkan Swing Copters hanya didorong oleh dua motif utama: rasa penasaran dan tentu saja kebanggaaan ketika membandingkan skor dengan teman yang lain di fitur Leaderboards. Selebihnya? Anda akan berhadapan dengan gameplay repetitif yang tidak memberikan celah pada kesalahan sekecil apapun. Yang membuat Swing Copters berbeda dengan Flappy Bird adalah tingkat laku sang karakter utama – si helikopter kecil ini. Jika di Flappy Bird, gravitasi mendorong si burung jatuh dan Anda harus memastikannya tetap melayang di sudut dan ketinggian yang tepat, maka Swing Copters menawarkan tantangan yang berbeda. Sang helikopter ini akan secara konsisten terus bergerak ke satu arah yang sama, hingga Anda melakukan tap dan memerintahnya untuk berubah haluan. Dengan sedikit animasi perpindahan arah, perhitungan menjadi sesuatu yang esensial. Anda harus memasitkan si helikopter tidak bergerak di luar haluan yang dibutuhkan dengan secara aktif memosisikannya di arah yang tepat. Secara aktif melakukan tapping justru bisa berujung mimpi buruk. Yang dibutuhkan hanyalah timing yang tepat. Berbeda dengan Flappy BIrd yang bergerak jatuh karena gravitasi, helikopter mini di Swing Copters ini akan terus bergerak ke kiri dan kanan secara konsisten sampai Anda meminta mereka berubah haluan dengan melakukan tapping. Di awal rilisnya, hampir mustahil untuk menikmati game ini karena cacat desain di sisi gameplay. Untungnya, keluhan gamer ini akhir mendorong Dong Nguyen melakukan update besar-besaran, mengubah sedikit desain level dan gerakan yang lebih responsif. Di awal rilisnya, Swing Copters adalah sebuah mimpi buruk, yang justru terlihat seperti sebuah game yang mengalami cacat desain yang fatal. Bagaimana tidak? Dengan ekstra tantangan dua pendulum yang mengayun aktif di kedua sisi, celah yang sempit antara tiap penghalanga dan antar baris penghalang satu sama lain, membuatnya terlihat mustahil untuk diselesaikan. Bahkan untuk mencapai skor 1-2 poin saja, Anda bisa menghabiskan waktu lebih dari 30 menit. Review negatif mengalir di halaman Google Play Swing Copters, yang semuanya berujung pada keluhan yang sama. Bahwa game ini terlalu sulit dari sisi desain, sulit dinikmati, dan sekedar menawarkan rasa frustrasi. Dong Nguyen tampaknya mendengar keluhan ini dan langsung mengeluarkan update terbaru beberapa jam sebelum review ini ditulis. Beberapa perubahan signifikan kini membuat Swing Copters ini menjadi jauh lebih bisa dinikmati. Daripada di seri awal, update terbaru membuat game ini menjadi jauh lebih bisa dinikmati. Mempertinggi bar halangan pertama untuk membantu gamer mendapatkan timing yang lebih baik, memperluas lebar jarak “gerbang” yang harus dilewati, kontrol yang jauh lebih repsonsif ketika Anda meminta sang helikopter mini berubah haluan, serta gerak pendulum yang lebih lambat tidak lagi membuat Swing Copters terlihat sebagai sebuah game yang mustahil. Perjuangan untuk menjadi yang terbaik kini lebih didasarkan pada kecekatan dan kecermatan unituk menentukan timing bergerak, bukan lagi sekedar karena desain yang menihilkan semua usaha Anda.

Review Infamous – First Light: Sekedar Menjual Ekstra Cerita!

$
0
0
inFAMOUS First Light™_20140827100236

inFAMOUS First Light™_20140827100236

inFAMOUS First Light™_20140827093934 Infamous: Second Son memang diposisikan sebagai salah satu game eksklusif andalan Sony untuk meningkatkan nilai jual konsol generasi terbarunya – Playstation 4. Sebagai salah satu franchise yang tampil begitu memesona di masa lalu, kehadiran karakter baru, inovasi gameplay, dan tentu saja – kualitas visual yang lebih baik membuatnya menjadi proyek yang sangat diantisipasi. Dan benar saja, ia tampil cukup memesona di sisi penjualan sekaligus membantu Sony mendongkrak popularitas Playstation 4 yang saat ini, memang masih terhitung minim game eksklusif. Sayangnya, terlepas dari kualitas grafis yang memang mumpuni, Infamous: Second Son masih memuat beberapa masalah krusial yang bahkan membuatnya terlihat lebih “lemah” dibandingkan Infamous 2. Selain implementasi sistem karma dengan konsekuensi yang tampil begitu lemah dan terasa sangat linear, Infamous: Second Son juga harus diakui hadir dengan plot dan karakter yang tidak begitu berkesan. Salah satu yang menjadi catatan besar adalah betapa tidak signifikannya peran karakter pendukung yang ada. Pengaruh mereka di sisi cerita terasa begitu minim dan sekedar hadir sebagai sumber kekuatan bagi Delsin, dan tidak lebih. Kelemahan inilah yang tampaknya berusaha ditebus oleh Sucker Punch lewat DLC standalone terbaru – Infamous: First Light. Sempat muncul di ajang E3 2014 yang lalu, Sony akhirnya merilis Infamous: First Light secara digital. Lantas, apa yang ditawarkan oleh Infamous: First Light ini? Mengapa kami menyebutnya sebagai game yang sekedar menjual ekstra cerita? Review ini akan membahasnya lebih dalam untuk Anda.

Plot

Infamous: First Light berfokus pada latar belakang Fetch - Conduit berkekuatan Neon. Di Second Son, ia mungkin lebih dikenal sekedar sebagai sumber kekuatan Neon bagi Delsin Rowe, dan seorang wanita “gila” yang begitu terobsesi untuk menghancurkan jalur distribusi narkotika di Seattle. Ia bahkan tidak segan untuk membunuh dan menghancurkan siapa saja yang berusaha menghalangi jalannya. Namun tentu saja, kepribadian Fetch bukanlah sesuatu yang tercipta dalam satu malam saja. Ia ditempa oleh begitu banyak trauma dan tragedi di sepanjang hidup sebelum bertemu dengan Delsin. Hal inilah yang menjadi fokus Infamous: First Light. Bisa disebut sebagai prekuel, Infamous: First Light dibangun dengan menjadikan karakter Fetch sebagai fokus utama, ketika ia masih terlibat dalam jalur perdagangan narkotika itu sendiri. Menyadari dirinya seorang Conduit, orang tua Fetch memang hampir menyerahkan dirinya ke DUP – badan organisasi pemerintah yang bertugas untuk menangkap dan menahan semua Conduit yang ada. Menyadari apa yang berusaha dilakukan oleh orang tuanya, sang kakak tercinta – Brent Walker menyelamatkan Fetch dan memutuskan untuk lari bersama. Hidup di jalanan, Brent menjadi satu-satunya tempat Fetch bersandar. Sempat hampir diserahkan ke DUP - organisasi pemerintah yang ditugaskan menahan para Conduit, Fetch diselamatkan oleh sang kakak tercinta - Brent. Sayangnya, kehidupan keras di jalanan membuat keduanya terperangkap dalam jebakan narkotika. Sayangya, kehidupan di jalanan membuat keduanya terperangkap dalam gelapnya dunia narkotika. Obat terlarang ini dijadikan sebagai “pintu keluar” dari beratnya hidup yang harus mereka jalani sebagai gelandangan. Brent memahami betapa kelamnya masa depan sang adik tercinta. Oleh karena itu, untuk memulai kehidupan yang baru, Brent mulai terlibat lebih dalam di organisasi kejahatan untuk mengumpulkan lebih banyak uang, dengan misi membawa Fetch ke Kanada. Sayangnya sebelum niatnya terlaksana, kedua kakak beradik ini justru harus melawan cobaan yang lebih berat. Aksi Brent memicu kemarahan organisasi kejahatan yang berkuasa di Seattle – Akurans yang berusaha membunuh keduanya.Parahnya lagi, di tengah semua konflik ini, Brent menghilang. Dibantu oleh teman lama Brent – Shane dan Jenny, Fetch berusaha mencari sang kakak tercinta. Alur yang ditawarkan bergerak maju mundur. Kisah masa lalu diceritakan Fetch yang terlihat sudah menjadi tawanan di DUP. Ini menjadi penjelasan yang mumpuni trauma dan tragedi seperti apa yang membuat Fetch memunculkan kepribadian dan motif di Second Son. Beberapa karakter baru yang membantu Fetch mencari sang kakak - Brent juga terlihat di sini. Alur yang diusung oleh Infamous: First Light sebenarnya bergerak maju mundur. Kisah Fetch dan Brent muncul sebagai visualisasi dari cerita yang dilontarkan Fetch ketika menjadi tahanan Augustine – tokoh antagonis utama Second Son di Curdun Cay. Di sini terlihat Fetch sudah ditawan dan tengah dilatih untuk menguasai kemampuan Neon-nya dengan lebih optimal, lewat serangkaian simulasi tes. Semuanya ini terjadi sebelum Fetch lari dari mobil tahanan DUP, yang sekaligus menjadi cerita pembuka dari Infamous: Second Son. Lantas, mampukah Fetch menemukan Brent? Konflik seperti apa yang harus dijalani oleh Fetch demi misinya yang satu ini? Siapa pula Shane dan Jenny? Semua jawaban dari pertanyaan di atas akan bisa Anda jawab dengan memainkan Infamous: First Light.

Review Metro Redux: Lompatan Visual!

$
0
0
Metro 2033 Redux JagatPlay (74)

Metro 2033 Redux JagatPlay (74)

metro redux (3) Proses HD Remaster memang menjadi salah satu formula yang tengah digandrungi developer dan publisher saat ini. Tren ini kian populer setelah kehadiran konsol generasi terbaru – Playstation 4 dan Xbox One di pasaran. Proses pengembangan yang lebih sederhana untuk sebuah produk yang sebenarnya sudah menemukan bentuk akhir dan basis fans yang kuat tentu menyisakan developer pada satu tugas utama – memastikan kualitas visual yang lebih sempurna dan mengikuti perkembangan zaman. Menariknya lagi? Terlepas dari beragam kritik yang selalu mengemuka setiap kali sebuah pengumuman proyek HD Remaster dilemparkan, game-game mampu meledak di pasaran, seperti yang terjadi dengan Tomb Raider: Definitive Edition dan The Last of Us Remastered. Tidak lagi sekedar game third person shooter, sebuah franchise FPS besar juga menempuhnya. Benar sekali, kita tengah membicarakan Metro. Identitas yang kuat, alunan cerita yang keren, dan presentasi visual yang memesona memang menjadi salah satu kunci utama mengapa franchise Metro dari 4A Games mampu menarik perhatian massa. Ada sesuatu yang menarik dari kisah perjalanan untuk mencari kebenaran di sebuah dunia post-apocalyptic yang mencekam dan penuh rasa keputusasaan ini, yang diperlihatkan oleh dua buah seri berkesinambungan – Metro 2033 dan Metro: Last Light. Selisih “umur” yang cukup jauh dan implementasi engine yang lebih canggih di seri terakhir, akhirnya mendorong 4A Games untuk merilis game ini dalam sebuah format yang terasa lebih menyatu. Semuanya ditawarkan oleh proses HD Remaster yang tidak sekedar menyuntikkan resolusi atau framerate yang lebih tinggi. Sebuah solusi yang disebut sebagai Metro Redux. Setelah penantian yang cukup lama, 4A Games akhirnya merilis Metro Redux ke pasaran, untuk PC dan konsol generasi terbaru – Playstation 4 dan Xbox One, tentu saja.Lantas, apa yang ia tawarkan? Mengapa kami menyebutnya sebagai sebuah proyek dengan lompatan visual? Review ini akan membahasnya lebih dalam untuk Anda.

Tanpa Tambahan Konten Signifikan

Metro 2033 Redux JagatPlay (6) Seperti halnya game-game HD Remaster yang meluncur ke pasaran sebelumnya, Metro Redux yang merupakan paket berisikan dua game terpisah: Metro 2033 Redux dan Metro: Last Light Redux juga tidak menawarkan tambahan konten yang signifikan di sisi cerita, apalagi mengingat kedua game ini juga tidak menyuntikkan mode multiplayer sama sekali. Anda masih akan bertemu dengan jalinan cerita yang sama, sebuah skenario post-apocalyptic dimana manusia dipaksa untuk hidup di terowongan bawah tanah yang dihubungkan dengan jalur kereta. Sementara bumi yang dulunya indah, kini dihuni oleh begitu banyak makhluk mematikan yang siap untuk memburu dan memangsa mereka yang berani memperlihatkan diri. Semua perjalanan ini dilakukan dari kacamata sang karakter utama – Arytom. Sejak diperkenalkan untuk pertama kali, 4A Games memang menjadikan perombakan visual sebagai nilai jual utama Metro Redux itu sendiri, dengan Metro 2033 sebagai fokus. Secara gameplay, Anda tidak akan menemukan sesuatu yang berbeda secara signifikan. Walaupun harus diakui, implementasi engine teranyar di Metro 2033 memang membuat skema kontrol senjata dan gerak yang lebih nyaman untuk dikuasai. Setidaknya cukup untuk memastikan Anda tidak tewas melawan para Bandits hanya karena kesulitan untuk melihat posisi lawan atau senjata yang dirasa tidak responsif dan menghasilkan impact yang dibutuhkan. Walaupun demikian, ada sedikit penyempurnaan, termasuk sensasi menggunakan senjata yang kini lebih nyaman. Dialog dan voice acts versi original juga dipertahankan. Menariknya lagi? Seperti yang sempat mereka terapkan di Metro Last Light dahulu, gamer kini juga berkesempatan untuk memilih satu di antara dua pilihan gaya bermain – Survival dan Spartan di Metro 2033 Redux. Survival akan membawa Anda pada pengalaman Metro yang sesungguhnya, dimana resource senjata mengalami limitasi ketat, dimaan Anda akan lebih didorong untuk beraksi sefektif mungkin karena hal ini. Sementara Spartan memberikan kesempatan untuk mencicipi game ini dengan cita rasa game FPS yang lebih mainstream, dimana peluru tidak akan menjadi masalah yang  berarti. Namun pada akhirnya, secara garis besar, sisi gameplay yang ditawarkan oleh Metro Redux tidak banyak berbeda dibandingkan dengan versi original masing-masing. Satu hal yang cukup terasa berbeda, setidaknya di Metro 2033 Redux, adalah penambahan beberapa animasi gerakan untuk menghasilkan efek yang lebih dramatis dibandingkan seri originalnya. Sementara dari sisi percakapan, dialog yang disuntikkan masih hadir sama persis dengan versi awalnya, lengkap dengan voice acts yang ada. Masalah klasik seperti suara dialog yang bertabrakan satu sama lain dan justru membuat pesan utama tidak tertangkap dengan baik masih terasa di sini.

Review CM Storm Resonar: Untuk Gamer Pencinta Bass!

$
0
0
Cooler Master Resonar

Cooler Master Resonar

CM Storm Resonar Seringkali diremehkan dan dilihat sebagai sebuah elemen yang tidak terlalu signifikan untuk menghadirkan pengalaman bermain yang lebih optimal, audio sebenarnya memainkan peranan yang yang jauh lebih krusial. Percakapan yang lebih jernih dan jelas, musik yang mengalun tepat, hingga efek suara yang menggelegar akan membantu menciptakan atmosfer permainan yang seharusnya. Untuk mencapai hal tersebut, perangkat audio yang mumpuni tentu saja sangat dibutuhkan, bahkan ketika yang Anda butuhkan hanyalah sekedar kesunyian ketika mencicipi game-game horror. Kualitas inilah yang berusaha ditawarkan oleh Cooler Master lewat produk headphone mereka – CM Storm Resonar.

Desain dan Fitur

Berbeda dengan peripheral audio gaming lain yang biasanya mengambil bentuk headset super besar, CM Storm mengambil desain sebuah in-ear headphone. Bahan alumium yang digunakan menjamin hasil akhir audio yang lebih baik dan tentu saja, build yang lebih tahan lama. Harus diakui, secara kasat mata, headphone ini memang tidak menawarkan sisi kosmetik yang memperlihatkan identitas gamingnya dengan kuat. Apa yang Anda pikirkan ketika membicarakan sebuah perangkat audio yang didesain untuk gaming? Hampir sebagian besar dari pikiran kita mungkin akan langsung tertuju pada headset berukuran besar, dengan serangkaian fitur kosmetik yang kentara. Namun tidak dengan CM Storm Resonar ini. Ia hadir sebagai sebuah in-ear headphones yang tetap ditujukan untuk memastikan pengalaman gaming Anda terasa optimal. Secara kasat mata, hampir tidak ada sisi kosmetik yang memperkuat identitas headsetnya sebagai sebuah perangkat gaming, namun tetap mampu memperlihatkan kesan sebuah produk bernilai tinggi. Pondasi utama CM Storm Resonar dibangun dengan menggunakan bahan alumunium untuk menciptakan kualitas audio yang lebih optimal, sekaligus memastikan ia mampu bertahan untuk waktu yang cukup lama. Desain yang proporsional didukung dengan ukuran dan bahan karet penutup yang pantas untuk diacungi jempol, CM Storm Resonar akan meminimalisir semua suara yang muncul dari lingkungan luar dan memaksimalkan semua suara yang muncul dari driver. Namun ingat, seperti halnya in-ear headphone pada umumnya, telinga Anda akan butuh waktu beradaptasi sebelum bisa merasa nyaman menggunakan CM Storm Resonar. Apalagi jika Anda termasuk gamer yang tidak pernah menggunakan headphone dengan varian seperti ini sebelumnya. Namun tenang saja, CM Storm Resonar juga menyertakan tiga variasi ukuran bantal telinga untuk kebutuhan telinga Anda. Seperti in-ear headphone pada umumnya, butuh waktu untuk beradaptasi untuk memastikan pengalaman yang lebih nyaman. Dengan tipe kabel pipih seperti ini, Anda tidak lagi perlu dipusingkan dengan kejadian kabel kusut, yang memang harus diakui, menjengkelkan. Sebutkan satu masalah klasik yang hampir selalu terjadi ketika Anda menggunakan headphone, apalagi ketika mobile? Benar sekali, kabel kusut yang selalu terjadi tanpa alasan yang jelas. Untungnya, hal ini tidak akan pernah terjadi di CM Storm Resonar ini. Desain kabel pipih yang ia suntikkan tidak hanya menambah nilai estetika, tetapi juga memastikan Anda tidak akan lagi berhadapan dengan kasus kabel kusut yang menyebalkan. Dengan pouch yang juga disertakan di dalam paket penjualan, Anda bisa menggunakan CM Storm Resonar ini untuk memperkuat PC Anda atau perangkat mobile ketika Anda tengah beraktivitas di luar ruangan. Keputusan untuk menjadikan jack 3.5mm sebagai konektor utama memang menihilkan hadirnya dukungan perangkat lunak yang memungkinkan user untuk memodifikasi beberapa elemen suara yang ada, walaupun demikian keputusan ini justru tampil begitu tepat untuk CM Storm Resonar ini. Mengapa? Karena ia mampu menjamah semua perangkat gaming yang ada di pasaran, tanpa harus terperangkap pada identitas sebagai peripheral untuk PC semata. Dengan gamepad Nintendo Wii U dan DualShock 4 yang sudah menyematkan port jack 3.5mm yang bisa diakses dengan mudah, CM Storm Resonar bisa diandalkan untuk memaksimalkan audio yang keluar dari game-game konsol tersebut. Bahkan, ia akan mampu menawarkan atmosfer gameplay yang jauh lebih baik daripada sekedar mengandalkan suara yang keluar dari layar televisi Anda. Dengan konektor jack 3.5mm yang ia usung, CM Storm Resonar juga bisa diandalkan di platform gaming selain PC, seperti Nintendo Wii U dan Playstation 4 yang sudah menyertakan port  3.5mm di kontroler mereka. Salah satu keunggulan lain dari CM Storm Resonar dan desain in-ear headphone-nya adalah kepastian bahwa Anda tidak akan mengganggu kenyamanan orang lain di ruang publik, terlepas dari betapa tingginya volume suara yang Anda anggap paling nyaman. Ini menjadikannya sebagai ujung tombak yang bisa digunakan dalam beragam situasi, baik dari sekedar menikmati musik di kendaraan umum hingga bermain game kesukaan Anda di tengah malam, tanpa perlu mengganggu orang lain sama sekali. Anda bisa menikmati aktivitas kesukaan Anda tanpa lagi terhalang apapun. Lantas seperti apa spesifikasi teknis yang ditawarkan oleh CM Storm Resonar ini?
  • Driver: 8mm driver
  • Frequency Response: 20Hz-20KHz
  • Impedance: 20Ω
  • Connector: 3.5mm headphone jack
  • Cable Length: 1.3m
<!-nextpage–>

CM Storm Resonar, Seberapa Baik?

CM Storm Resonar hadir dengan fitur andalan bernama - Bass FX. Fitur ini memungkinkan Anda menghasilkan suara Bass yang lebih mumpuni, tanpa perlu modifikasi via perangkat lunak. Anda hanya perlu memutar roda kecil di bagian headset dengan sedikit indikator hijau tersebut. Walaupun tidak mengusung bentuk yang memperlihatkan identitas sebuah peripheral audio gaming yang kentara, CM Storm Resonar hadir dengan fitur yang luar biasa, apalagi untuk Anda – para gamer yang menggemari bass. Ia mengusung teknologi mumpuni yang telah dipatenkan – Bass FX, yang diklaim mampu menghasilkan suara bass yang tangguh dan sejernih kristal di saat ayng sama. Apa itu Bass Fx? Ia disebut sebagai sebuah teknologi berbasis magnet yang akan menyesuaikan diri sesuai dengan kebutuhan tanpa perlu dukungan perangkat lunak. Ia akan menghasilkan audio yang maksimal, terlepas dari jenis suara yang Anda nikmati. Lantas seberapa benar klaim tersebut? Kami menjajalnya di semua konten multimedia utama – film, musik, dan video game. Kami menantang CM Storm Resonar untuk berhadapan dengan tiga ujian terbesar ini.

Film

Bass memang selalu menjadi primadona utama ketika kita membicarakan audio di beragam konten multimedia, khususnya film layar lebar yang kini sudah bisa Anda nikmati dalam kualitas terbaik di dunia maya. Dan tidak ada momen yang lebih tepat untuk menguji CM Storm Resonar selain kembalinya sang Raja dari segala Kaiju – Godzilla yang kini sudah tersedia dalam format definisi tinggi. Untuk adegan drama yang memang terbilang mendominasi film ini, suara percakapan dan beragam detail suara yang bergerak di latar belakang berhasil ditangkap dengan sangat baik. Namun puncak performa CM Storm Resonar tentu ada pada setiap menit kemunculan Godzilla. Raungan khasnya yang menggelegar, bersama dengan hancurnya kota dari pertempuran melawan para MUTO terdengar sangat luar biasa. Detail suara yang muncul setiap kali MUTO mengeluarkan panggilan khasnya juga pantas diacungi jempol.

Musik

Dengan Bass FX yang menjadi fitur andalannya, CM Storm Resonar bisa dipastikan memang akan tampil jauh lebih maskimal untuk musik yang menjadikan elemen tersebut sebagai nilai jual yang paling utama. Namun untuk mendapatkan gambaran yang lebih mendetail tentang performa yang ia usung, kami tentu saja harus mengujinya di beragam genre musik yang ada, di format 128kbps untuk mewakili kualitas suara yang memang lebih umum digunakan. Tiga buah musik dari tiga buah genre yang kami pilih adalah Coldplay – Paradise (Pop), Tidus – Delancey (Hip Hop), dan Slipknot – The Negative One (Metal). Seperti yang bisa diprediksi, CM Storm Resonar terhitung tidak bisa memunculkan kualitas audio Slipknot dengan maksimal. Dengan suara gitar yang mendominasi, ada sensasi bahwa setiap suara yang muncul bersinggungan erat satu sama lain, sehingga mengaburkan detail suara yang ada. Dengan ruang suara yang tidak terlalu luas, ini menjadi masalah tersendiri. Namun untuk musik yang terus menawarkan dentuman bass seperti Tidus, CM Storm Resonar tampil begitu memesona. Ia akan memanjakan telinga Anda yang memang menggemari jenis musik seperti ini. Sementara untuk lagu yang lebih bercirikan pop, kejernihan suara yang ia tawarkan cukup untuk memfasilitasi kualitas suara yang Anda butuhkan.

Gaming

Keputusan untuk menjadikan konektor 3.5mm sebagai basis menjadikan CM Storm Resonar adaptif, setidaknya untuk memfasilitasi kepentingan gaming Anda di platform manapun, tidak hanya lagi terbatas PC. Port jack 3.5mm yang disuntikkan Nintendo Wii U di GamePad mereka dan Playstation 4 di DualShock 4 memungkinkan perangkat ini dimaksimalkan untuk memainkan range game yang lebih luas. Kami bahkan sempat mengujinya di The Last of Us Remastered dan P.T. – yang dinobatkan sebagai salah satu game paling menyeramkan saat ini. Sementara di Nintendo, Super Mario 3D World yang masih mencuri hati kami menjadi tempat pengujian. The Last of Us Remastered membuktikan betapa menariknya CM Storm Resonar sebagai sebuah peripheral audio, apalagi dengan fitur Bass FX yang ia miliki. Ia mampu menangkap keheningan, petikan gitar Gustavo Santaolalla, suara dan setiap makian Ellie, dan suara panah yang meluncur dari tangan Joel dengan begitu tepat, bahkan harus diakui, sempurna. Hal yang sama juga terjadi di Super Mario 3D World, apalagi dengan semua musik luar biasa yang ia tawarkan di sepanjang permainan. Isolasi suara yang mumpuni menjadi salah satu alasan mengapa CM Storm Resonar tidak hanya bisa diandalkan untuk game-game yang secara konsisten menawarkan ledakan di sana-sini, tetapi juga yang sekedar menjual keheningan.

Kesimpulan

Cooler Master Resonar Terlepas dari  bentuknya yang memang harus diakui tidak memperlihatkan identitas sebuah peripheral gaming yang kentara, CM Storm Resonar menjalankan tugasnya dengan begitu optimal. Desainnya sebagai in-ear headphone tidak hanya menawarkan isolasi suara yang lebih baik dan berujung pada presentasi suara yang lebih memanjakan telinga, tetapi membuatnya bisa digunakan untuk beragam kepentingan di situasi apapun tanpa perlu takut mengganggu kenyamanan orang lain, apalagi ketika Anda berada di ruang publik. Bahan alumunium yang digunakan menjamin kualitas build yang tahan lama sekaligus mampu menghasilkan audio yang mumpuni. Desain kabel pipih yang disematkan juga akan menyelesaikan masalah klasik kabel kusut headphone yang sangat menjengkelkan. Bagian terbaiknya? Cooler Master juga menyertakan beberapa bantal telinga ekstra dan audio/mic splitter ke dalam paket penjualan untuk memastikan produk ini lebih adaptif untuk apapun kebutuhan yang Anda inginkan. Implementasi konektor jack 3.5mm juga membuatnya bisa digunakan untuk tidak hanya untuk PC, tetapi juga di konsol generasi terbaru, tablet ,dan smartphone. Jika ada satu hal yang pantas dicatat dari CM Storm Resonar adalah minimnya indikator untuk Bass FX. Teknologi ini memang memungkinkan Anda untuk mengatur tingkat bass yang keluar dari headphone ini Anda secara langsung, tanpa perlu mengandalkan perangkat lunak sama sekali. Syaratnya? Anda harus memutar roda kecil di bagian headset untuk mengaktifkan atau mematikan fitur tersebut. Sayangnya, tidak jelas ke mana Anda harus memutar untuk mengaktifkan fungsi Bass FX tersebut. Bagian in sama sekali tidak memberikan petunjuk apapun, selain sebuah bagian kecil berwarna hijau yang menunjukkan dimana posisi Anda sekarang. Walaupun demikian, CM Storm Resonar harus diakui mampu menjalankan fungsinya sebagai sebuah perangkat audio gaming yang mumpuni, untuk semua platform yang tersedia di pasaran. Tidak hanya sekedar menjual dentuman bass yang keras, ia juga mampu menawarkan keheningan suara yang tentu saja dibutuhkan di genre game-game tertentu. CM Storm Resonar ini sendiri dijual di kisaran harga USD 50.

Review Tekken 2 – Kazuya’s Revenge: Buang-Buang Waktu!

$
0
0
Tekken 2 Kazuya Revenge JagatPlay (26)

Tekken 2 Kazuya Revenge JagatPlay (26)

Tekken 2 Kazuya Revenge JagatPlay (41) Kata apa yang terbesit di otak Anda ketika mendengar sebuah film adaptasi game tengah dikerjakan? Pesimis mungkin menjadi jawaban yang paling rasional. Ketakutan ini memang terhitung rasional jika melihat tren proses adaptasi selama beberapa tahun terakhir, yang alih-alih memukau, justru selalu berhasil membuat gamer kecewa luar biasa.  Salah satu kesalahan yang paling sering dilakukan adalah usaha untuk mengintepretasikan franchise ini dari kacamata orang awam yang sebenarnya tidak mengerti apa yang membuat nama –nama ini tampil begitu fenomenal di industri game. Hasilnya? Film-film ini berujung menjadi proyek Hollywood yang tidak mampu menawarkan plot, karakter, dan atmosfer sekuat versi video gamenya. Beberapa bahkan terhitung melenceng jauh dan dinilai sekedar “meminjam” nama. Contoh yang paling nyata? Tekken. Gamer mana yang belum pernah mendengar nama Tekken sebelumnya? Franchise game fighting Namco Bandai ini memang sudah hidup bertahan selama beberapa generasi, dengan seri baru yang selalu diantisipasi oleh basis fansnya yang cukup besar. Tidak mengherankan jika film adaptasinya yang meluncur tahun 2010 silam – Tekken termasuk salah satu proyek yang cukup dinanti. Sayangnya, hampir semua gamer yang sempat menghabiskan waktu dan uang mereka untuk “menikmati” film ini di layar lebar tentu setuju akan satu hal,  bahwa ia merupakan salah satu film adaptasi game terburuk sepanjang masa. Terlepas dari hadirnya beberapa karakter ikonik yang diproyeksikan di dalamnya, film ini gagal menawarkan semua elemen yang membuat Tekken begitu dicintai. Terlepas dari semua kritik pedas yang meluncur, para sineas film tampaknya tidak mudah menyerah. Sebuah seri teranyar – Tekken 2: Kazuya’s Revenge meluncur ke permukaan. Mungkin terasa sedikit tidak etis, bahwa kami akan menilai  film yang satu ini mengingat fakta bahwa kami mengunduhnya secara ilegal di dunia maya. Namun mengingat ia tidak tersedia di bioskop-bioskop di Indonesia, alternatif ini menjadi satu-satunya opsi yang rasional. Tidak perlu menunggu lama, hanya berselang 3 minggu sejak pemutarannya di beberapa bioskop Asia Tenggara, Tekken 2: Kazuya’s Revenge sudah mendapatkan rilis versi definisi tinggi yang kini luas didistribusikan di internet. Dengan minimnya opsi dan rasa penasaran yang luar biasa, kami akhirnya memutuskan untuk menjajal film yang satu ini. Lantas, pesona seperti apa yang ditawarkan oleh Tekken 2: Kazuya’s Revenge? Mengapa kami menyebutnya sebagai film buang-buang waktu? Review ini akan membahasnya lebih dalam untuk Anda.

Plot

Terlepas dari nama "2" yang ia sandang, Tekken 2 - Kazuya's Revenge merupakan prekuel dari Tekken The Movie yang dirilis 2010 silam. Membingungkan memang, namun hal inilah yang terjadi dengan Tekken 2: Kazuya’s Revenge. Terlepas dari fakta bahwa ia memuat nama “2” di dalamnya, film ini justru diposisikan sebagai sebuah prekuel dari film Tekken yang dirilis tahun 2010 silam. Berangkat dari timeline inilah, Anda mungkin tidak akan bertemu dengan beberapa karakter ikonik yang sempat muncul di versi film sebelumnya. Tekken 2: Kazuya’s Revenge akan berfokus pada sumber konflik klasik keluarga Mishima, antara Kazuya dan ayahnya – Heihachi. Hilang ingatan dan tidak mampu mengenal siapa dirinya, Kazuya terbangun di sebuah apartemen kumuh, di sudut kota Tekken yang dikuasai oleh keluarga Msihima. Ingatanya yang memudar memang masih secara samar memperlihatkan sedikit bayangan masa kecil dan kejadian terakhir sebelum ingatannya menghilang, namun ia tidak lagi memiliki identitas sama sekali. Mengambil setting di Kota Tekken, yang dikuasai keluarga Mishima. Dimana mereka yang dianggap lemah, dilempar ke sudut kota yang kumuh. Lupa ingatan dan berusaha mencari identitas dirinya yang sebenarnya, Kazuya terperangkap dalam organisasi kejahatan yang dikelola oleh The Minister.   The Minister merekrut "K" sebagai ujung tombak assassin-nya yang baru. Diberi nama “K” oleh kelompok organisasi pembunuh yang dipimpin oleh seorang tua bernama “The Minister”, Kazuya berusaha mencari tahu siapa dirinya sembari bertahan hidup di tengah kerasnya sudut kota Tekken ini. Tidak perlu menunggu lama hingga Minister menugaskan Kazuya sebagai pembunuh andalannya. Lewat kemampuan bela dirinya yang luar biasa, Kazuya diposisikan sebagai ujung tombak Minister unutk menghabisi berbagai sindikat organisasi hitam yang dianggap mengancam kehidupan umat manusia. Bersama dengan sang rekan utama – Rhona Anders, Kazuya menjalankan tugasnya dengan sangat sempurna. Ia bahkan sempat jatuh cinta dengan sang wanita manis yang senantiasai merawatnya – Laura. Namun sayangnya, seiring dengan progress perjalanannya untuk mencari kebenaran, Kazuya justru harus berhadapan dengan kenyataan yang lebih pahit. Bersama dengan sang partner utama - Rhona Anders. Kazuya juga membangun hubungan romantis dengan karakter wanita bernama Laura. Kenyataan seperti apa yang akan ditemui Kazuya? Bagaimana peran Heihachi dalam konflik cerita ini? Siapa sebenarnya Laura? Semua jawaban dari pertanyaan ini bisa Anda jawab dengan menyaksikan Tekken 2: Kazuya’s Revenge ini.

Upcoming Game Release: September 2014

$
0
0
upcoming-game-release-septe

upcoming-game-release-septe

upcoming-game-release-septe Setelah sempat mengalami masa paceklik game yang cukup membosankan selama beberapa bulan terakhir, industri game akhirnya bersiap untuk menikmati bulan-bulan keemasannya. Fokus mungkin mengarah pada bulan Oktober dan November yang memang mejanjikan segudang franchise raksasa yang terlalu sayang untuk dilewatkan. Namun sembari menunggu masa peralihan tersebut, bulan September sudah memperlihatkan gairah industri game yang kembali memuncak. Ada segudang game yang pantas dinikmati bulan ini, baik dari konsol generasi terbaru, PC, hingga handheld dari masing-masing produsen. Pastikan Anda tidak melewatkannya!

2 September

 

The Sims 4

the sims 4
  • Genre: Simulation
  • Platform: PC

Danganronpa 2: Goodbye Despair

danganronpa 2
  • Genre: Action
  • Platform: PS Vita

Velocity 2X

velocity 2x
  • Genre: Action
  • Platform: PS Vita, Playstation 4

Warriors Orochi 3 Ultimate

warrior orochi 3
  • Genre: Action
  • Platform: Playstation 4, Xbox One
 

5 September 2014

 

Dead Rising 3

dead rising 3 pc
  • Genre: Action
  • Platform: PC
 

9 September 2014

 

Destiny

destiny_playstation_exclusive_content_5
  • Genre: Action, RPG
  • Platform: Playstation 3, Playstation 4, Xbox 360, Xbox One

NHL 15

nhl 15
  • Genre: Sports
  • Platform: Playstation 3, Playstation 4, Xbox 360, Xbox One
 

13 September 2014

 

Fable Anniversary

fable anniversary
  • Genre: Action, RPG
  • Platform: PC
 

16 September 2014

 

ArcheAge

archeage
  • Genre: MMORPG
  • Platform: PC

Cooking Mama 5: Bon Appetit!

cooking mama 5
  • Genre: Puzzle
  • Platform: Nintendo 3DS

Fairy Spencer F

fairy spencer f
  • Genre: Action, RPG
  • Platform: Playstation 3

Naruto Shippuden: Ultimate Ninja Storm Revolution

naruto ultimate ninja storm revolution japan expo trailer (65)
  • Genre: Fighting
  • Platform: Playstation 3, Xbox 360, PC

Theatrhytmn Final Fantasy: Curtain Call

curtain call
  • Genre: Rhythm
  • Platform: Nintendo 3DS
 

19 September 2014

 

Wasteland 2

wasteland
  • Genre: RPG
  • Platform: PC

Menjajal Star Citizen Pre-Alpha: Ujung Tombak Supremasi PC!

$
0
0
Star Citizen JagatPlay (52)

Star Citizen JagatPlay (52)

star citizen1 Sebuah fenomena unik yang luar biasa, kalimat yang satu ini tampaknya pantas dilayangkan untuk Star Citizen. Bukan hanya karena fakta bahwa ia menjadi salah satu ujung tombak utama untuk menghidupkan kembali genre space simulation yang semakin langka di industri game, tetapi juga proses yang menyertai proses pengembangannya. Berbeda dengan game AAA lain yang selalu disokong dengan kekuatan dana besar dari para publisher raksasa, Star Citizen tumbuh dari rasa cinta dan kepercayaan komunitas gamer penggemar Space Sim pada sosok Chris Roberts – yang sudah melahirkan game-game sekelas Wing Commander dan Freelancer di masa lalu. Kepercayaan yang akhirnya divisualisasikan lewat sokongan dana yang fantastis dalam bentuk donasi. Tidak main-main, donasi yang terkumpul bahkan berhasil menyaingi jumlah yang berani digelontorkan oleh publisher besar sekalipun. Dikembangkan sejak Oktober 2012 silam, Star Citize nsudah menghimpun dana kurang lebih USD 50 juta untuk mewujudkan apapun yang berada di benak Chris Roberts menjadi nyata. Misinya? Menciptakan sebuah game simulasi luar angkasa paling kompleks dan dinamis yang pernah ada, tentu saja dengan dukungan kualitas visual yang tidak kalah memesona. Untuk mencapai hal tersebut, Cloud Imperium Games – sang developer menyerahkan urusan visual pada engine andalan Crytek – CryEngine 3. Tidak main-main, mereka berkomitmen untuk memaksimalkan engine tersebut hingga batas tertinggi, bahkan tidak segan untuk membuat PC terkuat sekalipun kewalahan. Hal sama yang membuat Star Citizen tidak akan pernah dirilis untuk Playstation 4 dan Xbox One yang disebut oleh Roberts, terlalu lemah. Mimpi untuk mencicipi versi final game ini memang kian mendekati waktu realisasi. Walaupun belum ada tanggal rilis yang ditetapkan, namun beragam rumor mempercayai bahwa game ini siap untuk meluncur pada akhir tahun 2015 mendatang. Sembari menunggu, gamer yang sudah memberikan donasi dalam jumlah tertentu diberikan kesempatan untuk mencicipi masa pre-alpha yang memang masih memuat fitur terbatas. Seperti yang akan kami jabarkan di proses “review” singkat yang satu ini.

Mode yang Masih Terbatas

Star Citizen JagatPlay (12) Tidak banyak yang bisa Anda lakukan di masa pre-alpha Star Citizen ini, namun akan cukup membakar rasa ketertarikan Anda untuk mencicipi versi finalnya di masa depan. Untuk masa pre-alpha ini, Cloud Imperium Games “hanya” memberikan Anda dua pengalaman yang berbeda: sekedar berjalan di hangar dan mencicipi sedikit pertempuran luar angkasa yang seharusnya menjadi intisari permainan di versi retail nantinya. Ada dua hal yang bisa Anda lakukan di pre-alpha Star Citizen ini. Pertama, sekedar berjalan-jalan di Hangar. Anda juga bisa menemukan beberapa objek yang bisa dipicu, sekaligus mengisyaratkan fungsi apa yang mungkin akan ditambahkan di masa depan. Di mode Hangar, Anda akan berkesempatan untuk berjalan-jalan dan mengeksplorasi tempat dimana Anda akan menyimpan pesawat nantinya. Cukup luas dan terlihat mampu menampung beberapa varian pesawat, Hangar juga memberikan akses ke beberapa objek yang bisa Anda picu untuk menghasilkan interaksi tertentu. Seperti tempat helm khusus yang bisa Anda kenakan, sebuah peti berisikan equipment yang mungkin akan bisa Anda kenakan di versi final, dan sebuah terminal komputer yang tampaknya didesain untuk membantu Anda memodifikasi bentuk dan jenis senjata yang bisa digunakan oleh pesawat andalan Anda nantinya. Hangar juga menjadi kesempatan terbaik bagi Anda untuk mengecek bentuk pesawat dengan lebih detail, bahkan hingga ke bagian terkecil sekalipun. Anda juga berkesempatan untuk menguji senjata yang Anda sematkan ke kendaraan utama Anda di Star Citizen tersebut. Update terakhir yang dirilis kini memungkinkan Anda untuk mencicipi sedikit sensasi eksplorasi luar angkasa, yang memang menjadi tulang punggung Star Citizen. Ada mode Valuum juga yang membuka kesempatan bagi Anda untuk mencicipi sensasi dog-fight melawan pesawat AI. Setelah berbulan-bulan terperangkap di Hangar yang boleh terbilang sekedar demo singkat kualitas visual yang akan ditawarkan di versi finalnya, update terakhir dari Star Citizen akhirnya memungkinkan Anda untuk mengeksplorasi luar angkasa dan mendapatkan sedikit gambaran akan tulang punggung mekanisme gameplay yang ada. Untuk sementara, modul ini hanya memberikan Anda dua buah peta utama: Broken Moon – sebuah bulan berwarna biru yang permukaannya tengah hancur berantakan dengan senjata laser raksasa yang mengarah padanya, dan Dying Stars – sebuah bintang pecah dengan inti merah menyala. Sementara di sisi lain, module ini juga menyediakan dua mode: Free Flight – yang membebaskan Anda untuk mengeksplorasi kedua peta yang terbatas ini, dan Vanduul Swarm – dimana Anda harus menghancurkan pesawat musuh dalam waktu tertentu. Mode yang terakhir ini akan membantu Anda menangkap sedikit sensasi dog-fight dengan pesawat luar angkasa.

Review Tales of Xillia 2: Inovasi Gameplay yang Unik!

$
0
0
Tales of Xillia 2

Tales of Xillia 2

Tales of Xillia 2 Gudangnya JRPG, sebutan yang satu ini tampaknya memang pantas disematkan kepada Playstation 3. Terlepas dari usianya yang kian menua dan teknologi yang tidak lagi terasa relevan, apalagi setelah rilis Playstation 4 ke pasaran, konsol generasi sebelumnya dari Sony ini justru terlihat kian matang. Popularitas yang masih begitu tinggi, terutama di pasar Jepang, membuat banyak developer yang tidak ingin beralih cepat ke generasi selanjutnya dan berusaha untuk “memanen” potensi konsol ini secara penuh. Hasilnya? Gelombang game JRPG yang menolak untuk tenggelam, bahkan bisa dikatakan semakin menguat menuju akhir masa konsol hitam yang satu ini. Yang secara konsisten hadir? Tentu saja game RPG andalan Bandai Namco – Tales Series. Setelah penantian yang cukup lama, sang seri kelanjutan Tales of Xillia 2 akhirnya mendapatkan proses translasi. Anda yang sempat membaca preview kami sebelumnya tentu saja sudah memiliki sedikit gambaran akan daya tarik seperti apa yang ditawarkan oleh Tales of Xillia 2. Walaupun secara visual tidak banyak berbeda, terutama dari fakta bahwa ia masih menyertakan begitu banyak aset dari seri pertama, terutama dari sisi desain monster dan lingkungan yang ada, Tales of Xillia 2 menyuntikkan beberapa inovasi yang menarik di sisi gameplay. Inovasi yang tidak hanya terhitung unik untuk sebuah seri Tales, tetapi genre JRPG secara keseluruhan. Sebuah konsep yang membuat seri ini mengusung identitas yang mirip dengan sebuah game MMOPRG, terlepas dari statusnya sebagai game RPG single-player. Lantas performa seperti apa yang diperlihatkan oleh Tales of Xillia 2 ini? Mengapa kami menyebutnya sebagai game JRPG dengan inovasi gameplay yang unik?

Plot

Anda berperan sebagai Ludger Kresnik, yang berusaha mencari jawaban atas beragam misteri yang meliputi sosok sang kakak tercinta - Julius. Seperti nama yang ia usung, Tales of Xillia 2 merupakan sekuel langsung dari Tales of Xillia yang juga dirilis eksklusif untuk Playstation 3 beberapa tahun yang lalu. Mengambil waktu satu tahun sejak Tales of Xillia pertama berakhir dimana dua dunia yang berbeda – Elympios dan Rieza Maxia tidak lagi terpisah, takdir besar meliputi sosok seorang karakter baru bernama Ludger Kresnik. Berambisi untuk menjadi anggota Spirius Corporation – perusahaan terbesar di Elympios dan mengikuti jejak sang kakak tercinta – Julius, Ludger harus berhadapan dengan kenyataan bahwa ia belum cukup mampu memikul tanggung jawab tersebut. Ia justru harus berhadapan dengan fakta lain yang jauh lebih mengejutkan. Tidak sengaja berhadapan dengan kasus pembajakan kereta api dan persinggungan dengan sosok anak perempuran misterius bernama Elle, Ludger terpanggil untuk mencegah  niat jahat yang dikobarkan organisasi pemberontak bernama Exodus tersebut. Namun hasilnya justru mengejutkan. Di ujung pembajakan in, ia justru melihat sang kakak – Julius yang terlihat menghabisi orang-orang yang tidak bersalah. Berusaha melakukan konfrontasi secara terbuka, Ludger malah berhadapan dengan sebuah fenomena aneh. Ia terlempar ke sebuah dimensi lain yang memuat kejadian dengan event dan hasil akhir yang berbeda dengan apa yang ia temukan sebelumnya. Kacaunya lagi? Ludger menemukan fakta bahwa dirinya bisa berubah menjadi makhluk unik bersenjatakan tombak yang misterius. Tales of Xillia 2 sendiri mengambil timeline 1 tahun setelah event terakhir di Tales of Xillia pertama. Berusaha menghentikan pembajakan kereta oleh kelompok teroris - Exodus, Ludger menemukan dirinya terlempar ke dimensi lain. Tidak hanya itu sja, ia juga mampu berubah menjadi makhluk lain yang jauh lebih kuat. Bertemu dengan anggota tim inti yang berhasil menyelamatkan dunia di Tales of Xillia pertama – Jude Mathis dkk, dan sang companion baru – Elle yang berusaha menuju tanah mitos bernama Land of Canaan, Ludger pun bergerak melintasi Elympios dan Rieze Maxia untuk mencari jawaban, terutama keterlibatan sang kakak – Julius di dalam semua peristiwa penuh misteri ini. Perlahan namun pasti, beragam jawaban yang mereka inginkan pun muncul ke permukaan, termasuk fakta eksistensi beragam dunia dimensi lain yang dianggap mengancam keberlangsungan hidup dunia original milik Ludger sendiri. Chronos - yang berusaha mencegah aksi para Ludger tanpa motif yang jelas. Ia disebut-sebut sebagai Spirits yang bahkan lebih kuat daripada sosok Maxwell.   Sementara di sisi lain, Ludger juga betemu dengan Elle - seorang anak perempuan yang ingin mencapai tanah magis - Land of Canaan. Lewat campur tangan President dari Spirius Corporation – Bisley Bakur jugalah, Ludger mendapatkan akses penuh terhadap kekuatan barunya yang disebut sebagai “Chromatus”, sebagai ujung tombak untuk mengemban misi suci ini. Sayangnya, langkah mereka sendiri diawasi oleh salah satu Spirits besar yang bahkan dikabarkan lebih kuat daripada Maxwell – Chronos. Lantas apa yang terjadi dengan Julius? Apa motif Chronos? Mampukah Ludger menghancurkan dimensi lain yang mengancam? Semua jawaban dari pertanyaan ini bisa Anda jawab dengan memainkan Tales of Xillia 2 ini. Lantas, apa yang sebenarnya direncanakan oleh Julius? Apa itu Land of Canaan? Siapa pula Chronos dan apa motifnya? Mampukah Ludger menghancurkan beragam dunia dimensi lain yang mengancam? Semua jawaban dari pertanyaan tersebut bisa Anda jawab dengan memainkan Tales of Xillia 2 ini tentunya.

Preview Dead Rising 3: Perburuan Zombie Dimulai!

$
0
0
Dead Rising 3 JagatPlay (23)

Dead Rising 3 JagatPlay (23)

Dead Rising 3 JagatPlay (1) Dunia post-apocalyptic dan zombie memang tumbuh menjadi sebuah tema “usang” yang sudah berkali-kali dieksploitasi oleh industri game, yang kemudian direpresentasikan dengan begitu banyak judul dari beragam developer, besar maupun kecil. Sebagian besar nama yang berhasil mencapai tingkat popularitas tinggi lewat tema ini selalu menjualnya sebagai game yang menyeramkan atau setidaknya menegangkan. Ratusan mayat hidup siap untuk membunuh Anda dengan cepat di tengah resource yang terbatas. Namun tidak dengan Dead Rising dari Capcom. Alih-alih menyeramkan, zombie dan dunia post-apocalyptic yang ia tawarkan justru terasa seperti sebuah taman bermain besar yang menyenangkan. Jika tidak ingin, disebut gila. Lewat seri terbarunya – Dead Rising 3 yang sempat dijadikan eksklusif terbatas untuk Xbox One, Capcom kian menguatkan identitas tersebut.

Kesan Pertama

Diposisikan sebagai salah satu ujung tombak eksklusivitas Xbox One di awal rilisnya, Dead Rising 3 memang memperlihatkan kesan sebuah game generasi terbaru yang pantas untuk diacungi jempol, terutama dari kualitas visual yang ditawarkan. Dengan kemampuan spesifikasi yang lebih mantap, versi PC tentu hadir dengan penyempurnaan yang jauh lebih baik. Menariknya lagi? Capcom benar-benar tidak menahan diri untuk menciptakan atmosfer post-apocalyptic yang lebih “meriah” lewat jumlah Zombie yang meningkat signifikan. Pembatasan framerate di 30fps menjadi berkah tersendiri, setidaknya memastikan bahwa penurunan framerate yang terjadi ketika ratusan zombie muncul dalam satu layar, tidak akan mempengaruhi kenyamanan gameplay secara signifikan. Seperti halnya seri-seri Dead Rising sebelumnya, Dead Rising 3 juga menawarkan sensasi gameplay yang menyenangkan dan gila di saat yang sama. Berkesempatan untuk memungut beragam objek dan menjadikannya sebagai senjata “darurat” untuk menghabisi para zombie yang ada, Dead Rising 3 juga memungkinkan Anda untuk mengkombinasikan beragam objek ini menjadi senjata yang jauh lebih kuat, yang terkadang hadir dengan efek dan serangan khusus yang super keren. Humor-humor klasik Dead Rising juga tetap dipertahankan, dari sekedar percakapan yang tercipta, hingga beragam desain senjata dan pakaian yang bisa Anda dapatkan. Anda juga punya kebebasan untuk mengeksplorasi kota yang luas, untuk mendapatkan beragam blueprint senjata dan kostum-kostum lucu yang unik. Cukup untuk membuat Anda melupakan fakta bahwa Dead Rising 3 juga hadir dengan sebuah garis cerita. Sembari menunggu waktu yang lebih proporsional untuk melakukan review, izinkan kami memberikan sedikit gambaran seperti apa kualitas visual yang ditawarkan oleh Dead Rising 3 lewat serangkaian screenshot terbaru yang kami ambil sendiri ini. Ada beberapa hal yang memang belum kami coba karena terlalu asyik menghancurkan para zombie tanpa alasan ini: termasuk mode multiplayer dan beberapa bagian kota yang harus dibuka dengan melewati progress cerita tertentu. Let the Zombie Mayhem begins!!

PS: Klik Gambar untuk Memperbesar!

Dead Rising 3 JagatPlay (18) Dead Rising 3 JagatPlay (21) Dead Rising 3 JagatPlay (182) Dead Rising 3 JagatPlay (177) Dead Rising 3 JagatPlay (161) Dead Rising 3 JagatPlay (156) Dead Rising 3 JagatPlay (145) Dead Rising 3 JagatPlay (127) Dead Rising 3 JagatPlay (123) Dead Rising 3 JagatPlay (101) Dead Rising 3 JagatPlay (87) Dead Rising 3 JagatPlay (78) Dead Rising 3 JagatPlay (71) Dead Rising 3 JagatPlay (58) Dead Rising 3 JagatPlay (57) Dead Rising 3 JagatPlay (51) Dead Rising 3 JagatPlay (34)

Review Thermaltake TteSports Poseidon ZX: Lugas, Ringkas, Terjangkau!

$
0
0
Thermaltake TteSports Poseidon ZX

Thermaltake TteSports Poseidon ZX

Thermaltake TtEsports Poseidon ZX “Begitu Anda sudah mencoba keyboard mekanikal, Anda tidak akan lagi ingin kembali”, hampir sebagian besar gamer PC yang sudah menjajal keyboard mekanikal tentu saja setuju dengan pernyataan yang satu ini. Dengan ekstra kenyamanan dan fitur yang ia usung, tidak mengherankan jika ia selalu ditawarkan dengan harga yang cukup tinggi, bahkan berkali-kali lipat dibandingkan keyboard membran beragam merk yang bisa Anda dapatkan dengan mudah. Namun gamer PC yang sudah menjajal varian keyboard ini akan menikmati sensasi feedback dan akurasi eksekusi perintah yang sulit untuk ditandingi. Hal sama yang ditawarkan Thermaltake lewat produk keyboard terbaru mereka – Poseidon ZX.

Desain dan Fitur

Thermaltake Poseidon ZX hadir sebagai sebuah keyboard Tenkeyless (TKL), yang membuat ukurannya lebih kecil dari dua varian keyboard Poseidon yang lain. Sebelum kita membahas Thermaltake Poseidon ZX secara lebih mendalam, ada baiknya kita mempelajari terlebih dahulu perbedaan antara setiap varian produk Poseidon yang diluncurkan oleh Thermaltake selama beberapa tahun terakhir ini. Thermaltake Poseidon merupakan keyboard mekanikal mainstream dengan beragam ekstra fitur, namun ditawarkan di range harga normal. Untuk membuatnya lebih terjangkau, Thermaltake merilis sebuah varian baru yang secara garis besar mirip – Poseidon Z. Bedanya? Ia ditawarkan di harga yang lebih terjangkau, berkat implementasi teknologi switch pabrikan China. Jika Poseidon masih bertahan dengan si “raja” – Cherry MX dari Jerman, Poseidon Z sudah beralih ke Kailh Switch dari China. Ia bahkan diklaim sebagai salah satu keyboard mekanikal termurah di pasaran saat ini. Lantas, apa yang ditawarkan oleh varian baru Thermaltake Poseidon ZX ini? Secara kasat mata, ia memang masih mendukung desain standar sebuah keyboard Poseidon yang selama ini kita kenal, dengan LED berwarna biru yang menjadi identitas utama.Bedanya? Thermaltake Poseidon ZX didesain sebagai sebuah keyboard mekanikal Tenkeyless (TKL), yang berarti Anda tidak akan lagi menemukan bagian numpad di keyboard yang satu ini. Dengan hilangnya satu sesi ini, Thermaltake Poseidon ZX tampil jauh lebih ringkas. Namun menariknya, ia tetap mengusung ukuran tuts normal sebuah keyboard mainstream, memastikan bahwa pengalaman menggunakannya akan tampil konsisten dan tidak butuh waktu lama untuk beradaptasi. Jari Anda akan menari dengan bebas sejak pertama kali Anda menggunakannya. Seperti Poseidon dan Poseidon Z, Poseidon ZX juga hadir dengan warna LED biru sebagai identitas utama. Sisi kosmetik yang ditawarkan juga minim, dengan hanya satu logo kecil di bagian spasi. Dari sisi desain sendiri, ia terhitung sebagai sebuah keyboard yang minim kosmetik. Selain LED biru yang menyala terang bagaikan laut, yang mendukung tema nama utama yang ia usung, Thermaltake Poseidon ZX terlihat elegan. Anda hanya akan bertemu dengan satu logo kecil di bagian spasi, dan logo Thermaltake di atas bagian Arrow key. Tidak lebih. Lantas, spesifikasi seperti apa yang ditawarkan oleh Thermaltake Poseidon ZX ini? Berikut adalah spesifikasi lengkap dari situs resmi Thermaltake:
  • Color: Black
  • No. Macro Keys: N/A
  • No. Game Profiles: N/A
  • Graphical UI: No
  • Weight: 970 Grams
  • Gold-Plated USB: Yes
  • Dimension: 363 x 143 x 40MM
  • Interface: USB
  • Membrane, Mechanical, Plunger: Mechanical
  • On-Board Fan Device: No
  • Anti-Ghosting Keys: Full N-Key Rollover
  • On-Board Memory Size: N/A
  • Back-Light: Yes, Full Back-Light
  • Wrist Rest: No
  • Smart Cable Management: Yes
  • USB Cable Detachable: No
  • Multimedia Keys: 7
  • On-Board USB Port: No
  • Keystroke Lifecycle: 50 Million
  • Cable Length: 1,8 M

Thermaltake Poseidon ZX, Seberapa Nyaman?

Thermaltake Poseidon Z, seberapa nyaman? Secara garis besar, pengalaman menggunakan Thermaltake Poseidon ZX sendiri memang tidak banyak berbeda dengan sensasi kenyamanan yang ditawarkan oleh Poseidon Z. Identitasnya sebagai sebuah keyboard TKL memang membuatnya terlihat jauh lebih ringkas dan kecil dibandingkan varian produk yang lain, namun tidak lantas berpengaruh langsung pada pengalaman Anda menggunakannya. TKL benar-benar hanya membuang bagian numpad dan memastikan tidak ada ekstra tombol untuk mendukung desain lebih padat, sementara semua bagian lain, dipertahankan layaknya sebuah keyboard mekanikal normal. Ukuran tuts, jarak antara tuts, dan beragam fungsi lain tetap dipertahankan. Hasilnya? Anda bisa menggunakannya secara optimal sejak hari pertama Anda menggunakannya. Tidak ada perasaan canggung. Sayangnya, usaha untuk melahirkan sebuah keyboard ringks juga berarti “mematikan” beberapa fitur lain yang mungkin seringkali dilihat sebagai sebuah standar tersendiri, dari ketersediaan slot USB untuk memudahkan Anda mengaplikasikan peripheral lain ke dalamnya, hingga ekstra tombol yang selama ini mungkin dilihat esensial untuk fungsi makro. Thermaltake Poseidon ZX tidak menawarkan semua fitur ini untuk memastikan desain keyboard TKL yang tetap bertahan dengan identitas utamanya. Dengan absennya ekstra tombol, Thermaltake Poseidon ZX juga didukung dengan perangkat lunak apapun yang memungkinkan modifikasi fungsi makro. Pengaturan intensitas cahaya LED dan berbagai fungsi multimedia sudah disematkan dalam bentuk shortcut di deretan tombol teratas. Untuk mendukung posisinya sebagai sebuah keyboard TKL, Thermaltake Poseidon ZX memotong bagian numpad dan tidak menyuntikkan ekstra tombol apapun. Namun kenyamanan tetap dipertahankan, berkat ukuran dan jarak tuts yang tetap dipertahankan. Thermaltake Poseidon ZX Dengan desain dan fitur seperti ini, sangat jelas bahwa Thermaltake Poseidon ZX memang didesain sebagai sebuah keyboard gaming dengan nilai jual yang sederhana, ditujukan untuk gamer yang punya mobilitas yang tinggi. Lebih kecil, lebih ringan, mudah dibawa kemanapun Anda butuhkan, dan selalu bisa diandalkan, Thermaltake Poseidon ZX akan berperan tak ubahnya sebuah senjata yang bisa Anda andalkan dimanapun. Satu yang pasti, Thermaltake Poseidon ZX didesain untuk memastikan setiap perintah yang Anda lontarkan, seberapa cepat pun, akan mampu dieksekusi secara akurat berkat imlepementasi fitur anti-ghosting yang pantas untuk diacungi jempol. Dikombinasikan dengan Blue Switch yang populer, Thermaltake Poseidon ZX menghadirkan sensasi tactile yang maksimal, nyaman, dengan akurasi respon yang selalu bisa diandalkan, dari sekedar melakukan tugas-tugas yang produktif hingga tentu saja, bermain game. Berapa cepatpun jari Anda bergerak, Thermaltake Poseidon ZX akan mampu memastikan setiap perintah yang dilontarkan berakhir menjadi hal yang Anda inginkan. Namun ingat, terlepas dari sensasi “surga” Blue Switch di tangan Anda, ia juga dikenal sebagai varian switch dengan tingkat kebisingan super tinggi. Bunyi yang dimunculkan mungkin akan terdengar tak ubahnya musik bagi si user, namun bisa berujung menjadi polusi tersendiri bagi orang-orang yang berada di sekitar Anda. Blue Switch menjamin sensasi penggunaan yang nyaman dan bisa diandalkan di saat yang sama. Seperti yang bisa diprediksi, ia mampu mengeksekusi semua genre yang kami lemparkan dengan sempurna. Blue Switch terasa begitu nyaman ketika kami menjajal beberapa game yang tengah populer di pasaran saat ini. Kami menjajal Thermaltake Poseidon ZX di DOTA 2 sebagai ujung tombak genre MOBA, Dead Rising 3 – game third person shooter yang fun, serta Lichdom: Battle Mage – sebuah game first person berbasis magic yang cukup unik di industri game. Hasilnya? Luar biasa. Untuk game-game First Person dan Third Person yang memang tidak membutuhkan gerak cepat dan peralihan dari satu key ke key lainnya, Thermaltake Poseidon ZX mampu berjalan begitu sempurna, tanpa masalah. Hal yang sama, secara fantastis juga terjadi di DOTA 2. Bermain sebagai Meepo yang selama ini dikenal sebagai Hero yang membutuhkan peralihan key super cepat, Thermaltake Poseidon ZX akan memastikan tidak ada satupun perintah yang terlewatkan. Secara garis besar, Thermaltake Poseidon ZX membuktikan diri sebagai sebuah keyboard mekanikal TKL yang bisa diandalkan.

JagatPlay NgeRacau: Video Game itu Biang Masalah!

$
0
0
make me a killer

make me a killer

make me a killer “Ah..lu ngapain sih main game sampai lama-lama begitu? Gak bagus tahu ga! Kayak orang gak punya kerjaan aja!”, hamper semua udah pasti pernah ngendenger kalimat yang satu ini, entah keluar dari mulut bokap nyokap, temen yang kagak pernah main game, atau sekedar kerabat yang tiba-tiba pengen ngatur gimana cara kita ngejalanin hidup, padahal dekat juga enggak. Stigma kalau video game itu lebih banyak ngehasilin efek negatif memang bukan baru, dan udah sering banget diucapin, bahkan dari zaman Mario masih lompat enggak jelas pakai bentuk 8 bit-nya. Karena kesannya cuman buat permainan dan main-main, video game jadi semacam hobi yang dilihat menyesatkan, apalagi buat anak muda yang notabene seharusnya nyerap lebih banyak skill yang bisa ia pakai di masa depan. Bagi orang awam, video game enggak ada bagusnya. Ini tentu udah otomatis bertolak belakang dengan begitu banyak hasil penelitian di luar sono yang justru ngebuktiiin sesuatu yang berkebalikan. Video game malah dilihat jadi sumber dari begitu banyak sikap mental dan tingkah laku positif, yang enggak cuman berdampak bagus buat aktivitas yang dijalanin anak sehari-hari, tetapi juga wujudnya di masa depan. Tapi apapun yang mau dilemparin ke ranah publik, ternyata enggak banyak ngefek. Karena di saat yang sama, penelitian tentang video game enggak pernah bisa ngeminimalisir begitu banyak variabel yang ikut berperan di dalamnya, termasuk gaya asuh orang tua dan usia mental anak itu sendiri. Hasilnya? Lebih banyak kontroversi di sana-sini, banyak klaim yang enggak berdasar, dan akhirnya – ekstra kebingungan yang kagak ada jawabannya ampe sekarang. Cara terbaik buat nikmatinya? Sementara ini hanyalah dengan berusaha memahami dan mengerti dari kacamata dua belah pihak, termasuk beragam argumen dari masing-masing pihak.

Tuduhan dengan Dasar

Dari kacamata orang awam, yang mungkin juga kemakan usia dan enggak terlalu ngerti teknologi, video game selalu jadi porsi kekhawatiran sendiri, apalagi kalau udah jadi hobi orang-orang yang dia cintai. Fakta kalau gamer seringkali ngelupaiin waktu, terlalu fokus untuk sesuatu yang sekedar disebut sebagai “hobi”, bahkan ngehabisin uang banyak karenanya dillihat sebagai sebuah simtom yang mengkhawatirkan. Hal ini makin parah kalau ini dilakuin oleh orang dewasa, dengan anggap kalau video game itu lebih cocok buat anak-anak. Tapi terlepas dari berbagi tuduhan yang terdengar sangat “ofensif”, ada beberapa  yang memang diselingi argumen yang cukup berdasar dan mungkin aja memang dialamin oleh beberapa gamer di luar sana.

Gamer itu Anti-Sosial

Waktu luang yang habis buat video game memang bikin gamer jarang punya waktu buat bergaul secara fisik, ketemu sama orang lain. “Ansos lu!”, ini mungkin jadi prejudice yang sering banget dilemparin orang awam buat gamer yang kayaknya “keserap” banget sama game yang lagi mereka mainin. Kalau dilihat sepintas, ini stigma memang ada benernya juga, kalau kita mau ngomong jujur. Gimana enggak? Bayangin aja, untuk nyelesaiin sebuah game favorit kita, apalagi JRPG, kita bisa butuh waktu sekitar 20-50 jam. Waktu yang tentu aja kagak cepet, apalagi kalau kita juga disibukin sama kegiatan sehari-hari yang nyita waktu. Hasilnya? Setiap kali ada waktu, kita fokus buat nyelesaiin game ini. Durasi main sekitar 6-8 jam setiap kali main dengan mudah dijabanin. Efek yang bahkan lebih dahsyat juga dirasaiin di game-game online macam DOTA 2 yang bisa bikin kita betah 12 jam depan komputer, enggak lihat sinar matahari sama sekali. Enggak heran dicap anti-sosial, karena video game memang simply bikin kita enggak ada waktu buat bersosialisasi sama orang lain, ketemu langsung, dan berinteraksi secara fisik. Berbulan-bulan enggak ketemu temen pas weekend? We can bear with that..

Video Game Bikin Kesehatan Buruk

Vidya gamhh.. Memang sih, sulit untuk diakuin, tapi intensitas gaming itu juga memang erat hubungannya sama kesehatan. Kita enggak cuman ngomongin gimana kita ngehabisin 12 jam tanpa ngelihat sinar matahari sama sekali, yang kadang dilakuin berkala juga, tapi semua efek jangka panjang yang mungkin muncul. Satu yang pasti, udah pasti soal mata. Ngelihatin layar monitor atau televisi dalam jangka waktu panjang, udah jadi semacam ramalan, kalau kita bakalan rabun jauh dan berujung pada kacamata. Duduk di depan monitor juga berarti minim aktivitas fisik. Obesitas jadi masalah klasik, sama tubuh yang pelan tapi pasti, udah enggak kuat buat ngejalanin aktivitas yang kayaknya di orang lain, terasa gampang banget dilakuin. Pelan tapi pasti, kalau sampai lupa makan dan minum juga, lambung dan ginjal juga bisa jadi masalah. Semata-mata muncul karena game yang lu mainin, memang sulit ditolak, bahkan untuk urusan sedetik pun.

Konsentrasi yang Terbagi

Jadi susah konsentrasi, karena pikiran kagak bisa keluar dari dunia game itu sendiri, bahkan jadi fokus utama. Kadang bisa disebut nguatin, kadang disebut ngelemahin. Video game emang jadi pedang bermata dua untuk urusan yang satu ini. Fakta kalau video game secara konsisten minta lu buat ngikutin instruksi di layar, merhatiin, dan laksanaiin secara teori, memang seharusnya bikin konsentrasi lu ningkat. Tapi faktanya, dia justru jadi pengalih konsentrasi yang berbahaya, apalagi kalau buat anak-anak.. Gara-gara rasa penasaran atau ngebet pengen nyelesaiin game yang lagi dimainin, enggak heran kalau anak-anak kadang ngebawa pikiran soal video gamenya, bahkan ke sekolah. Fokus otaknya sekarang jadi “Entar kalau udah di rumah, gua gimana cara nyelesaiin puzzle yang ini yak?”, dengan pikiran yang terus berputar di sana-sana aja. Hasilnya? Apa yang lagi dijelasin sama guru di depan papan tulis kagak ada yang nyangkut sama sekali. Enggak cuman anak-anak, ini masalah juga kadang terjadi sama orang dewasa. Penasaran dan rela buat mainin game sampai larut malam, bahkan pagi, bikin waktu tidur jadi makin nipis dan enggak bisa akomodir kebutuhan butuh yang notabene butuh istirahat. Ketika di kantor atau lagi kuliah, otak juga gak mampu lagi jaga kondisi “waspada” untuk menaruh perhatian pada apapun. Simply yang dibutuhin, cuman tidur.

Pemalas

Hoaaam... Berhubungan erat sama point yang sebelumnya, karena energi yang kurang dan kesulitan buat berkonsentrasi inilah, gamer terus dicap jadi pemalas. Gamer jadi enggak punya cukup tenaga buat fokus nyelesaiin beragam kewajiban yang dilemparin ke mereka, baik di sekolah maupun tempat kerja. Hasilnya? Dicap tidak kompeten dan pemalas di saat yang sama.

Belajar Ngomong Kotor!

Dasar djan*piiipp* Game Online itu memang enggak pernah didesain untuk anak yang enggak cukup umur, yang sayangnya, enggak pernah jadi pusat perhatian di Indonesia. Banyak orang tua yang masih awam sama masalah ini dan ngebebasin anaknya nyicipin game online lokal, terlepas dari fakta kalau rating umur enggak berlaku di sono. Alhasil? Pergaulan anak yang awalnya sehat-sehat aja secara fisik, mulai ngeadopsi begitu banyak bahasa kotor lewat interaksi di dunia maya. Anonimitas dalam dunia maya emang bikin orang-orang jadi bebas ngebacot apapun, sekasar apapun, tanpa ada konsekuensi yang nyata sama sekali. Alhasil? Anak-anak yang selama ini tutur bahasanya bagus dan sopan, mulai belajar kata-kata enggak pantas yang sering banget dikeluarin buat ninggalin kesan “tough”. Kalau yang satu ini, emang bikin ngelus-ngelus dada tetangga dah.

Review Lichdom – Battlemage: “FPS” Super Unik!

$
0
0
Lichdom Battlemage jagatplay (70)

Lichdom Battlemage jagatplay (70)

Lichdom Battlemage jagatplay (1) Berapa banyak dari Anda yang sempat mencicipi seri Elder Scrolls sebelumnya, terutama sang seri kelima – Skyrim? Dengan beragam penghargaan yang berhasil ia capai, bersama dengan popularitas yang tidak mudah tenggelam berkat dukungan komunitas yang luar biasa, Skyrim  menjadi sebuah standar RPG yang luar biasa. Kebebasan, luasnya dunia, hingga mekanik gameplay dari kacamata orang pertama yang memesona menjadi daya tarik yang sulit untuk ditolak. Namun berapa banyak dari Anda yang sempat memimpikan konsep sebuah game mirip Skyrim, namun dengan cita rasa action yang lebih dominan? Jika Anda termasuk salah satunya, maka Lichdom Battlemage mungkin akan menjadi jawaban dari pencarian Anda selama ini. Lichdom – Battlemage sendiri dikembangkan oleh sebuah studio game independen bernama Xaviant. Namun tentu saja, statusnya sebagai sebuah game independen tidak lantas membuat game ini hadir dengan kualitas kacangan. Lepasnya campur tangan publisher dan rilis via portal distribusi Valve – Steam justru memberikan kebebasan mutlak bagi Xaviant untuk mengimplementasikan beragam ide yang mereka. Hasilnya? Sebuah game  yang walaupun diklaim mengusung genre “FPS RPG” ala Borderlands, justru memperlihatkan sebuah game “FPS” yang belum pernah dijajal sebelumnya. Menariknya lagi? Xaviant juga memastikan pengalaman bermain yang optimal dari sisi visual, berkat implementasi engine andalan Crytek – CryEngine. Lantas, apa yang ditawarkan oleh Lichdom – Battlemage ini? Mengapa kami menyebutnya sebagai sebuah game “FPS” yang unik?

Plot

Anda bisa memilih satu dari dua jenis kelamin karakter yang ada. Karakter dengan jenis kelamin yang tidak Anda pilih otomatis akan berperan sebagai karakter pendukung. Lichdom – Battlemage menawarkan dua varian cerita yang berbeda, tergantung pada jenis kelamin karakter yang Anda pilih – pria atau wanita. Waluapun akan berbagi jalan cerita dan musuh yang sama ketika permainan dimulai, dengan karakter lawan jenis yang secara otomatis berperan sebagai karakter pendukung, keduanya memiliki latar belakang motivasi yang berbeda. Jika Anda memilih karakter pria, maka Anda akan tergerak dalam misi balas dendam atas kematian istri tercinta Anda. Dan jika Anda memilih karakter wanita, Anda harus menyelamatkan sang kakak tersayang yang ditawan. Satu yang pasti, keduanya mengakar pada kebencian yang sama terhadap satu karakter yang sama – Count Shax. Untuk karakter wanita, latar belakang berpusat pada sosok sang kakak yang ditawan. Namun kedua karakter ini berbagi satu benang merah yang sama, balas dendam terhadap si tokoh antagonis bernama Count Shax. Dibantu oleh seorang penyihir misterius bernama Roth, Anda ditunjuk sebagai seorang Dragon - seorang battlemage untuk menundukkan klan penyihir kegelapan - Cult of Mathlus. Satu yang pasti, misi untuk menghabisi musuh karakter dengan kekuasaan besar ini tentu saja bukan hal yang mudah. Namun keberuntungan tampaknya berada di pihak karakter yang kita gunakan. Diselamatkan oleh seorang penyihir misterius bernama Roth, kita dipilih menjadi seorang Dragon – seorang ksatria penyihir yang ditakdirkan untuk menyelamatkan dunia. Benar saja, takdir kita ternyata juga bersinggungan dengan Count Shax itu sendiri. Roth menyebut karakter antagonis ini sebagai pemimpin dari sebuah sekte sihir kegelapan bernama – Cult of Malthus. Karakter dengan jenis kelamin yang tidak Anda pilih akan secara otomatis menjadi karakter pendukung, yang akan senantiasa muncul dan berkomunikasi dengan si karakter utama. Tantangan seperti apa yang harus mereka hadapi? Lantas mampukah sang karakter Dragon kita menundukkan Count Shax? Apa pula itu Cult of Malthus? Tantangan seperti apa yang harus kita hadapi? Semua jawaban dari pertanyaan ini akan bisa Anda temukan dengan memainkan Lichdom – Battlemage ini.

Review Dead Rising 3: Kiamat yang Menyenangkan!

$
0
0
Dead Rising 3 part 2 jagatplay (38)

Dead Rising 3 part 2 jagatplay (38)

Dead Rising 3 JagatPlay (1) Mayat-mayat yang bangkit dari kematian, sekedar didorong kebutuhan untuk mencari makanan, tanpa kesadaran dan pertimbangan moral, dan mampu menginfeksi yang lain dengan cakaran atau gigitan, zombie memang harus diakui merupakan salah satu skenario akhir dunia yang secara konsep, menyeramkan. Tidak mengherankan jika ia dilihat sebagai sebuah bentuk ancaman fiktif yang cocok untuk game-game bergenre survival-horror seperti Resident Evil atau Left 4 Dead, misalnya. Namun sensasi dan atmosfer yang berbeda justru ditawarkan oleh franchise lain andalan Capcom – Dead Rising. Alih-alih sebagai ancaman, zombie justru dilihat sebagai sebuah sarana untuk bersenang-senang secara optimal. Seperti yang ditawarkan oleh Dead Rising 3. Anda yang sudah sempat membaca preview kami sebelumnya, tentu saja sudah memiliki sedikit gambaran akan apa yang ditawarkan oleh Dead Rising 3 ini. Sebagai salah satu game yang “membuka” jalan untuk langkah pertama Xbox One memasuki persaingan konsol generasi terbaru, Dead Rising 3 tampil cukup memesona di versi PC yang akhirnya dirilis, setelah penantian yang cukup lama. Tidak hanya dari kualitas visual, tetapi juga fakta bahwa game generasi terbaru ini memuat gebrakan teknologi yang cukup memesona untuk sebuah game open-world. Satu yang pasti, atmosfer fun yang dibawa dari dua seri Dead Rising sebelumnya tetap dipertahankan di seri teranyar ini. Lantas, apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Dead Rising 3? Mengapa kami menyebutnya sebagai kiamat yang menyenangkan? Review ini akan membahasnya lebih dalam untuk Anda.

Plot

Selamat datang di Los Perdidos, sebuah kota yang akan terlihat indah, jika tidak ada ratusan ribu mayat hidup berkeliaran. Selamat datang di Los Perdidos, sebuah kota fiktif California dengan cuaca tropis yang terlihat sebagai tujuan wisata yang menyenangkan, tentu saja, jika ia tidak sedang berada di kondisinya saat ini. Ketika ia tidak sedang dipenuhi oleh ratusan ribu mayat hidup yang bertebaran di jalan, berjalan pelan untuk mencari sumber makanan yang masih tersisa – manusia. Selamat datang di Los Perdidos, dimana senapan mesin dan parang tajam akan jadi cara terbaik Anda untuk menikmati liburan. Anda berperan sebagai seorang montir bernama Nick Ramos yang berusaha bertahan hidup di tengah kekacauan ini. Prioritasnya secara langsung berubah, ketika pemerintah AS mulai menghitung mundur waktu sebelum Los Perdidos lenyap dari muka bumi untuk selamanya. Anda akan berperan sebagai seorang montir bernama Nick Ramos, yang berusaha bertahan hidup di tengah semakin memburuknya kondisi Los Perdidos. Bersama dengan beberapa manusia lain yang selamat, Nick harus berjuang melewati barisan para mayat hidup ini untuk mencari bahan makanan dan tentu saja, korban lain yang kebetulan selamat. Namun waktu yang dimiliki Nick ternyata tidak banyak. Pemerintah Amerika Serikat yang tengah dirundung kekacauan ternyata memutuskan untuk melemparkan bomb berkekuatan dahsyat dan melenyapkan Los Perdidos dari peta dunia. Waktu berjalan, dan satu-satunya jalan keluar Nick hanyalah sebuah pesawat terbang butut yang menolak untuk hidup jika tidak mendapatkan supply part tertentu. Tidak hanya harus berhadapan dengan para zombie, absennya hukum di Los Perdidos juga melahirkan berbagai kelompok manusia yang tidak kalah berbahaya. Seiring dengan progress cerita, Ramos juga menemukan benang konspirasi kusut yang melibatkan pemerintah AS itu sendiri. Dengan waktu super terbatas inilah, misi utama Nick beralih, dari sekedar bertahan hidup menjadi keluar dari neraka dunia ini secepat mungkin. Namun bukan hanya zombie yang harus ditakuti olehnya. Kondisi Los Perdidos yang tidak lagi memiliki hukum apapun, melahirkan gelombang manusia-manusia oportunis dengan agenda mereka masing-masing, dari sekedar kelompok gang motor yang bertahan hidup dengan cara menjarah, hingga beragam organisasi lain yang punya cara berbeda-beda untuk memastikan keselamatan dri mereka sendiri. Seiring dengan progress permainan, Nick juga menemukan sebuah benang kusut konspirasi menyeramkan, yang ternyata melibatkan militer Amerika Serikat. Tidak hanya itu saja, obat penangkal infeksi zombie yang selama ini didengungkan sebagai metode yang efektif – Zombrex ternyata digunakan untuk kepentingan yang jauh berbeda. Is that..... Lantas, mampukah Nick keluar dari Los Perdidos ini? Siapa sebenarnya dalang di belakang munculnya ratusan ribu mayat hidup ini? Kepentingan apa yang melibatkan militer AS dan Zombrex? Semua jawaban dari misteri ini akan bisa Anda jawab dengan memainkan Dead Rising 3 ini.

Preview Destiny: Akhirnya Tiba Juga!

$
0
0
Destiny_20140911012035

Destiny_20140911012035

Destiny_20140910231353 Anda yang cukup sering mengikuti perkembangan industri game tentu saja sudah pernah mendengar nama Destiny sebelumnya. Ia bahkan berhasil mendominasi sebagian besar berita yang muncul selama beberapa hari terakhir ini, tentu saja dengan atmosfer yang positif. Proyek perdana Bungie Studios setelah Halo ini memang berhasil menghasilkan beragam pencapaian yang fantastis, dari predikat sebagai game judul baru dengan tingkat pre-order tertinggi sepanjang masa hingga sebagai franchise baru yang berhasil meraih penjualan lebih dari USD 500 juta hanya dalam 1 hari saja! Pertanyaan besarnya, apa yang sebenarnya ditawarkan oleh game yang satu ini? Setelah penantian yang cukup lama, kesempatan untuk menjajal Destiny akhirnya tiba juga!

Kesan Pertama

Sebagian besar dari Anda yang sempat membaca impresi kami ketika menjajal masa Beta Destiny beberapa waktu yang lalu, tampaknya sudah mendapatkan sedikit gambaran soal game dari Bungie Studios ini. Secara garis besar, versi final ini tidak banyak berbeda dibandingkan dengan masa beta kemarin. Kualitas visual, mekanik gameplay, hingga atmosfer yang serupa dipertahankan, walaupun ada beberapa penyeimbangan di sisi senjata dan equipment. Yang berbeda? Hanyalah fakta bahwa Anda kini berkesempatan untuk menjelajahi planet lain selain bumi. Fakta bahwa di versi final ini, Anda akhirnya dapat mencicipi Destiny secara penuh. Lebih pantas disebut sebagai sebuah game MMOFPS, Destiny memang akan terasa jauh lebih optimal jika dimainkan bersama player lain, setidaknya hal inilah yang kami rasakan. Membangun Fireteam dari orang yang Anda kenal atau sekedar orang asing yang Anda temui di wilayah yang sama membangun esensi kekuatan dari Destiny itu sendiri. Fireteam membuat game hadir dengan tingkat kesulitan lebih tinggi, namun lebih terasa memuaskan dengan loot yang lebih baik, apalagi jika Anda bisa bersenang-senang dengan teman satu tim Anda, mengaplikasikan beragam strategi atau sekedar mengumpat frustrasi karena musuh yang tidak kunjung mati. Sayangnya, Destiny terasa sangat hambar ketika Anda berusaha menjelajahi variasi planet dan beragam quest yang ada seorang diri. Serasa ada sesuatu yang hampa, dunia yang terlalu luas dan mudah untuk Anda tundukkan sendiri. Namun secara garis besar, setidaknya dari 4 jam permainan yang kami lakukan, sensasi yang ditawarkan tidak banyak berbeda dengan versi Beta kemarin. Anda yang penasaran dengan impresi pertama Destiny kami bisa menuju ke link di bawah artikel untuk menuju ke deskripsi yang lebih jelas. Sebagai ganti preview ini, kami menawarkan segudang screenshot teranyar, terutama dari wilayah yang belum bisa dijajal di versi Beta sebelumnya – Bulan. Jika ada satu hal yang pantas untuk diacungi jempol, adalah kemampuan Bungie untuk mendesain sebuah dunia yang luar biasa indah. Sembari menunggu waktu yang lebih proporsional untuk melakukan review, apalagi dengan segudang quest yang ditawarkan dan pengalaman bermain bersama teman yang akan terasa lebih kaya, izinkan kami melemparkan screenshot teranyar di bawah ini untuk membantu Anda mendapatkan gambaran yang lebih lengkap. It’s finally here!

Untuk Preview lebih lengkap, cek impresi beta kami di sini!

Destiny_20140910231345 Destiny_20140910231052 Destiny_20140910233140 Destiny_20140910234425 Destiny_20140911004327 Destiny_20140911004945 Destiny_20140911005224 Destiny_20140911005739 Destiny_20140911005825 Destiny_20140911010426 Destiny_20140911010606 Destiny_20140911011205 Destiny_20140911011754 Destiny_20140911012538 Destiny_20140911015502 Destiny_20140911015549

Review HyperX Cloud: Gebrakan Menuju Pasar Peripheral Gaming!

$
0
0
HyperX Cloud

HyperX Cloud

HyperX Cloud Sebagian besar dari Anda yang pernah mendengar nama brand “HyperX” sebelumnya, tentu akan sangat jauh mengasosiasikannya dengan peripheral gaming. Di bahwa bendera sang produsen raksasa – Kingston, HyperX menjadi brand yang sangat kental dengan dua kata: storage dan memori yang memang sudah membuktikan kualitas dan kapabilitasnya untuk waktu yang cukup lama. Namun, popularitas ini tidak lantas membuat Kingston berhenti. Mereka memutuskan untuk menjadikan HyperX sebagai sebuah brand terpisah yang memang ditujukan untuk dunia gaming, dan mulai berusaha menjajal pasar yang kian mendapatkan penggemar ini. Senjata pertama yang mereka tawarkan adalah sebuah headset gaming yang akhirnya mampir di kantor kami. Sebuah langkah awal yang didefinisikan oleh HyperX Cloud.

Desain dan Fitur

Kombinasi warna hitam dan putih yang kontras, kesan elegan mengalir kuat dari headset gaming yang satu ini. Walaupun minim di sisi kosmetik. Bahan alumium menjadi pondasi dan menjadi jaminan build headset yang lebih kokoh. Jatuh cinta pada warna yang diusung, kalimat inilah yang tampaknya meluncur lewat mulut kami setelah melihat wujud fisik pendatang baru di dunia peripheral gaming yang satu ini. Dengan kombinasi warna hitam dan putih yang kontras, HyperX Cloud memperlihatkan desain yang cukup elegan, apalagi dengan kedua logo HyperX-nya yang begitu kuat di kedua sisi. Sekilas, ia memang tidak memperlihatkan sebuah atmosfer peripheral gaming yang kentara. Anda tidak akan bertemu dengan lampu LED atau logo yang menyala terang ketika headset ini terhubung. Namun terlepas dari minimnya sisi kosmetik ini, HyperX Cloud dibangun cukup kokoh berkat bahan alumunium yang ia suntikkan. Dengan ekstra bahan kulit yang diusung, kenyamanan juga menjadi elemen yang menjadi prioritas. Jika ada satu hal yang pantas untuk diacungi jempol, adalah keinginan jelas HyperX Cloud untuk berperan sebagai satu-satunya headset yang Anda butuhkan untuk menikmati semua konten multimedia yang ada, terlepas dari beragam media yang Anda miliki. Hal ini tercermin dari kelengkapan yang disertakan di dalam paket penjualan. Mengklaim diri sebagai sebuah headset yang akan mampu difungsikan secara optimal untuk PC, Playstation 4, Mac, dan Mobile, HyperX Cloud memfasilitasi hal tersebut lewat serangkaian kombinasi kabel yang disertakan. Anda bisa mengkombinasikan kabel sesuai dengan kebutuhan platform Anda. Ia bahkan juga menyediakan satu ekstra kabel yang diperkuat ekstra audio control untuk Anda yang cukup peka dengan volume suara yang dihasilkan. Ukurannya sendiri terhitung proporsional, dengan pads yang cukup untuk menutup keseluruhan telinga. Dua buah varian ear pads disertakan - kulit dan busa dengan keunggulan dan kelebihannya masing-masing. Kemampuan adaptif HyperX Cloud tidak hanya berpusat pada jumlah kabel yang bisa digunakan lintas platform. Ia juga menyediakan dua jenis ear pads di dalam paket penjualan yang bisa diganti dengan cukup mudah – busa dan kulit. Keduanya tentu saja akan secara langsung berpengaruh pada pengalaman pemakaian dan kualitas suara seperti apa yang dihasilkan. Busa seperti biasa, terasa lebih nyaman di telinga namun harus berhadapan dengan suara yang mungkin “bocor” jika diposisikan pada volume tertentu. Sementara kulit yang menghasilkan suara yang lebih tertutup, mungkin tidak nyaman digunakan untuk waktu yang cukup lama karena sensasi panas yang dihasilkan. Walaupun demikian, perlu diingat, HyperX Cloud juga menyuntikkan memory foam di pads yang ada untuk memastikan kenyamanan yang lebihn optimal. Konektor jack 3.5mm yang ia usung, membuat peripheral ini tidak hanya bisa digunakan untuk aktivitas gaming di PC, tetapi juga untuk konsol generasi terbaru seperti Nintendo Wii U dan Playstation 4. Keputusan untuk menjadikan jack 3.5 mm sebagai konektor utama menjadi bagian terbaik dari HyperX Cloud ini. Hal ini memungkinkan HyperX Cloud untuk digunakan di hampir semua perangkat yang tersedia di pasaran, tidak lagi terbatas hanya pada PC. Anda hanya tinggal menyematkan ekstra kabel yang ada, voila! Ia bisa digunakan untuk menikmati detail suara, sound effect, dan BGM dari beragam game yang dilemparkan di Playstation 4 dan Nintendo Wii U. Tentu saja, ketersediaan peripheral tambahan seperti ini akan mampu membantu Anda memerangkap atmosfer gameplay yang jauh lebih bisa diandalkan, daripada sekedar mengandalkan suara televisi, yang seringkali mengabaikan detail suara, yang sebenarnya sangat esensial. Seperti apa spesifikasi teknis yang diusung oleh HyperX Cloud ini?
  • 53mm drivers
  • 15 – 25.000 Hz
  • Mikrofon yang bisa dicabut-pasang
  • Konstruksi aluminium untuk stabilitas
  • Bahan kulit lembut dengan memory foam
  • Closed cups untuk efek bass yang lebih baik

Review Velocity 2X: Konsentrasi Tinggi Mutlak Dibutuhkan!

$
0
0
Velocity®2X_20140904223533

Velocity®2X_20140904223533

Sebuah game yang membutuhkan konsentrasi tinggi. Kesan itulah yang telah kami dapatkan dari seri game Velocity sejak kami mencoba memainkan versi remake game perdana dari seri tersebut, Velocity Ultra, beberapa bulan lalu. Awal bulan September ini, kami menadapatkan kejutan dari Sony, di mana game kedua untuk seri Velocity, Velocity 2X, ternyata digratiskan untuk pelanggan PlayStation Plus! Tanpa pikir panjang, kami langsung mendownload game tersebut dan mencobanya! Velocity®2X_20140904221658 Secara umum, Velocity 2X masih mengusung gameplay yang mirip dengan pendahulunya. Namun, terdapat beberapa perbedaan yang membuat game ini terasa semakin menarik dan menantang. Seberapa jauh perbedaan dalam game Velocity 2X ini mampu membuat game tersebut semakin menarik? Kami akan membahasnya dalam artikel ini!

Plot

Velocity®2X_20140904223533 Bila Velocity pertama lebih berfokus pada petualangan sebuah kapal yang menyelamatkan penghuni kapal lain yang terdampar di luar angkasa atau disandera oleh pihak lawan, Velocity 2X memperkenalkan gameplay baru dengan menambahkan unsur petualangan di luar kapal. Ya, kini Anda bisa memainkan bagian dari misi dengan menggunakan karakter humanoid dalam wujud misi di dunia side scrolling. Karakter wanita tersebut dikenal dengan nama Lt. Kai Tana. 2014-09-13-233512 Kai Tana sendiri adalah seorang test pilot Quarp Jet yang ditugaskan untuk terbang ke black hole yang disebabkan oleh ledakan bintang Villio. Dia mendapati dirinya mengalami modifikasi menjadi separuh mekanik setelah tertangkap oleh pihak lawan. Berhasil melepaskan diri dari pihak lawan, Kai Tana merebut kembali Quarp Jet-nya dan berupaya menyelesaikan misinya, yaitu kelanjutan dari Velocity pertama, menyelamatkan penghuni kapal lain yang menjadi korban black hole bintang Villio. Quarp Jet, kendaraan super dengan senjata mematikan dan kemampuan teleportasi. Sepanjang petualangannya, Kai Tana akan mendapatkan tantangan dari banyak sekali rintangan dari pihak lawan yang diketahui merupakan alien dari ras Vokh. Vokh sendiri juga menangkap beberapa kapal yang menjadi korban dari black hole bintang Villio dan mengurungnya dalam force field yang bisa dihancurkan dengan terlebih dahulu menghancurkan beberapa beacon. Tidak ketinggalan, mereka juga menempatkan beberapa kapal dan turret untuk menganggu Kai Tana menyelesaikan misinya. Mampukah Kai Tana menyelesaikan misinya? Sekali lagi, itu akan kembali ke tingkat konsentrasi Anda dalam memainkan game Velocity 2X ini!

Review Destiny: Hype yang Tak Sepadan!

$
0
0
Destiny_20140911231241

Destiny_20140911231241

Destiny_20140910231353 Anda yang cukup mengikuti berita game selama beberapa minggu terakhir ini, mungkin akan sudah sangat familiar dengan kata “Destiny” –  judul game baru racikan Bungie Studios dan Activision. Bagaimana tidak? Antisipasi yang begitu besar memang melahirkan begitu banyak pencapaian yang luar biasa, dari judul game baru tersukses di Inggris sejauh ini, game dengan tingkat pre-order tertinggi sepanjang masa, hingga penjualan USD 500 juta hanya dalam 1 hari saja! Sepak terjang Bungie yang sudah membangun Halo – salah satu game FPS konsol terbaik yang pernah ada tentu saja menjadi alasan utama. Satu yang pasti, Destiny memancing rasa penasaran yang tinggi, apalagi setelah beragam klaim yang sempat dilemparkan selama masa promosi. Kini kesempatan untuk menjajalnya secara langsung akhirnya tiba! Anda yang sudah sempat membaca preview kami sebelumnya, terutama impresi masa beta yang sempat diluncurkan beberapa waktu lalu, tentu saja sudah punya cukup gambaran apa yang ditawarkan Destiny secara garis besar. Secara visual, ia tampil memesona, terutama lewat desain setting yang ditawarkan. Setiap planet hadir dengan tema dan atmofer yang berbeda, dengan beragam efek tata cahaya yang menawan. Sementara di sisi gameplay, Destiny menawarkan mekanik yang serupa dengan frnachise milik 2K – Borderlands, sebuah game FPS berbau RPG yang kental. Namun satu yang menarik, game ini didesain untuk berfungsi hanya ketika Anda memiliki koneksi internet yang stabil. Apakah ini berarti menempatkan Destiny sebagai sebuah game MMO, tunggu dulu. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan sebelum kita tiba di kesimpulan yang satu ini. Lantas apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Destiny? Mengapa kami menyebutnya sebagai sebuah hype game yang tidak sepadan? Review ini akan membahasnya lebih dalam untuk Anda.

Plot

Sekedar menawarkan latar belakang, plot bukanlah kekuatan utama Destiny. Terlepas dari posisinya yang penting atau tidak, plot memang menjadi sesuatu yang esensial dalam video game, setidaknya untuk menjelaskan latar belakang yang mendorong karakter utama Anda melakukan segala sesuatunya. Hal inilah yang mungkin terjadi dengan Destiny. Ia menjadi satu dari sedikit game FPS yang tidak menjadikan plot sebagai kekuatan utama, terutama karena desain gameplay yang akan kita bahas nanti. Objek bola berbentuk raksasa berwarna putih ini disebut sebagai - The Traveler. Sumber dari peradaban emas manusia, sekaligus sumber masalah yang tidak kalah katastropik. Umat manusia harus berterima kasih kepada sang bola raksasa berwana putih nan misterius – The Traveler. Tidak ada yang memahami apa sebenarnya objek masif yang satu ini dan apa tujuannya, namun satu yang pasti, ia membantu manusia mencapai kualitas hidup yang belum pernah ada sebelumnya. The Traveler memungkinkan manusia untuk mencapai teknologi luar biasa untuk menjelajahi luar angkasa, bergerak dari bintang ke bintang lainnya, mencapai masa keemasan yang luar biasa. Namun sayangnya, The Traveler juga menjadi awal dari bencana luar biasa yang disebut sebagai “The Collapse”. Menggunakan kekuatan terakhir yang dimilikinya, The Traveler membangun tempat aman bagi garis terakhir pertahanan manusia setelah event The Collapse. Anda akan berperan sebagai seorang Guardian yang diperkuat dengan kemampuan Light milik Traveler. Misinya? Memastikan keberlangsungan eksistensi manusia sebagai sebuah ras dan merebut kembali peradaban planet lain yang kini direbut oleh ras alien lain. Setiap koloni yang dimiliki manusia mulai hancur perlahan, namun pasti, oleh sebuah kekuatan misterius lain yang disebut sebagai The Darkness. Kondisi begitu fatal, hingga manusia harus mundur dan akhirnya kembali ke bumi, menjadikannya sebagai basis pertahanan terakhir dengan The Traveler sebagai poros kekuatan utama. Sebuah pasukan khusus yang disebut The Guardians pun dibangun untuk memastikan keberlangsungan eksistensi manusia sebagai sebuah ras. Tidak hanya senjata api, para The Guardians ini juga memiliki kekuatan khusus bernama “The Light”.  Namun sayangnya, The Traveler sendiri mengorbankan nyawanya untuk mencapai tujuan mulia ini. Apa itu The Darkness? Konflik seperti apa yang harus dihadapi oleh Guardian? Pertanyaan ini akan bisa Anda jawab dengan memainkan Destiny ini. Guardian pun menjadi ujung tombak manusia untuk membangun kembali peradaban yang hilang, merebut kembali tanah yang kini jatuh ke tangan para makhluk asing yang juga saling berperang demi mendapatkan kekuasaan di dalamnya, sekaligus menjadi satu-satunya kunci benteng pertahanan Tower – kota terakhir manusia. Tugas yang harus Anda pikul sebagai salah satu Guardians. Lantas apa sebenarnya The Darkness? Mampukah manusia merebut kembali peradaban mereka yang sudah hilang selama berabad-abad? Bagaimana konflik ini akan berakhir? Jawaban dari semua pertanyaan ini akan bisa Anda jawab dengan memainkan Destiny ini.

JagatPlay NgeRacau: Demo FIFA 15 vs PES 2015

$
0
0
WORLD SOCCER Winning Eleven 2015 DEMO_20140918132257

WORLD SOCCER Winning Eleven 2015 DEMO_20140918132257

fifa 15 vs pes 2015 Setiap tahun, pertarungan yang sama, situasi panas yang sama, dan udah pasti ada satu yang keluar jadi pemenang dari sisi penjualan, terlepas dari diterima atau enggak. Ini udah jadi fenomena wajib  yang pasti terjadi di industri game dan enggak bisa dihindarin. Well, tentu sampai salah satu udah ngangkat bendera putih, mundur, dan mutusin buat enggak ngerilis seri terbaru apapun lagi di masa depan. Benar banget, kita lagi ngomongin dua game sepakbola paling besar (kalau enggak mau, dibilang satu-satunya) di industri game – Pro Evolution Soccer dari Konami dan FIFA dari EA Sports. Walaupun mekanik gameplaynya sama, yang notabene juga isinya 11 orang lari-larian kesana-kemari ngejar satu bola bundar, buat dilemparin ke jala lawan, FIFA sama PES punya daya tarik yang beda. Setidaknya itu yang selalu didengungin oleh basis fans-nya yang boleh dibilang cukup fanatik. Alasan sama yang sering banget buat JagatPlay keder buat ngebandingin keduanya. Player yang udah lama ngikutin sepak terjang JagatPlay sebagai situs gaming tentu tahu bahwa gua pribadi (ehm.. yang notabene namanya ada di bawah judul), selalu ngehindarin yang namanya review game olahraga. Bukan hanya karena gua pribadi enggak terlalu demen yang namanya nonton bola di dunia nyata (kecuali Piala Dunia, kadang-kadang), tetapi juga karena gua pribadi, agak malas harus berhadapan dengan basis fans masing-masing franchise yang dari awal sampai akhir, udah nyiapin pisau tajam kalau sampai review yang notabene merupakan personal experience gua, ternyata enggak sama dengan apa yang mereka rasaiin. Di samping itu, gua tentu bisa dibilang enggak punya kapabilitas yang cukup kredibel juga buat ngereview sebuah olahraga yang enggak gua ikutin di dunia nyata. Untungnya, JagatPlay punya reviewer “cadangan” kalau udah ngomongin soal game bola. The good old times.. Sebenarnya, sejak masa keemasan Playstation dulu dan ketika baru dihadapkan sama dengan kualitas grafis yang tentu aja melonjak tinggi dari zaman SNES, bola adalah salah satu game yang bikin gua jatuh hati sama Playstation. Persaingan klasik ini sebenarnya udah kebentuk di zaman dulu, ketika FIFA 98 waktu itu berhadapan dengan Winning Eleven 4 yang fenomenal. Winning boleh dibilang menang waktu itu, karena mekanisme kompleks yang dia usung nawarin atmosfer gameplay yang jauh lebih kompetitif untuk dinikmatin. Berangkat dari rasa jatuh hati inilah, gua pun akhirnya cukup mengikuti perkembangan game Pro Evolution Soccer – judul lain dari Winning Eleven untuk region di luar Asia, paling enggak, sampai versi tahun 2012. Dikerubungin sama gilanya game-game keren yang lain di masa itu, PES mulai gua tinggalkan. Pada akhirnya? Gua buta bola. Tapi ketertarikan untuk balik lagi ke game bola, untuk tahun 2014 ini, boleh dibilang kuat banget. Saking kuatnya, sampai gua pribadi udah enggak bisa bilang lagi, “No..gua mau main game lain..”. Why? Simple, karena ini dua franchise udah siap buat berperang di kancah platform generasi terbaru – Playstation 4 dan Xbox One tahun ini, setelah sempat malu-malu mau di tahun 2013 silam. PES 2015 dioptimalin buat ini platform, bahkan Konami berani buat dumb-down versi PC yang udah dikonfirmasi pakai engine lawas PS 3, tambah modif dikit. Sementara FIFA 15 yang udah boleh dibilang matang dari tahun lalu, kini maksimalin presentasi visual biar makin keren, nawarin nilai jual lebih. Menariknya lagi? Kesempatan buat ngejajal ini dua game lebih awal hadir lewat versi demo yang ditawarin via PSN. Berangkat dari ini fakta, gua pun akhirnya nugasin Playstation 4 buat ngunduh keduanya buat ngerasain experience game bola yang udah lama ditinggalin. Berangkat dari kacamata seorang newbie yang udah lama enggak cicipin game bola, gua mau ngebandingin experience gua dari nyicipin demo FIFA 15 dan PES 2015 (Winning Eleven 2015) yang udah tersedia sekarang. Tenang aja, buat versi preview dan review masing-masingnya nanti, bakalan diserahin ke tangan reviewer yang memang ngerti soal ini kedua game.
Viewing all 1760 articles
Browse latest View live