Hey guys, udah lama banget enggak ketemu di JagatPlay NgeRacau – semacam “forum” kecil yang kita bikin dengan bahasa santai, buat ngebahas isu-isu panas yang mungkin, ngelekat sama industri game. Sejauh ini sih, kita memang enggak nemuin banyak isu yang bisa diobrolin panas, sampai saat ini. Lagi santai-santai ngelihatin timeline di Facebook, gua nemuin sebuah kata-kata yang sayangnya, bikin hati gua tergerak. Bukan tergerak dalam pengertian positif yang bikin gua berlinang air mata atau bertobat maksudnya, tapi lebih didorong buat ngasih klarifikasi, terutama dari kacamata seorang gamer. Ada sedikit kekecewaan juga sih kalau tahu kalau ternyata ini ucapan meluncur dari mulut seorang motivator ngetop Indonesia yang namanya bisa dibilang, ehm, super ngetop.
Gua enggak tahu deh ini konten sebenarnya diisi sama sang motivatornya sendiri atau moderator fan page-nya, yang bisa jadi / enggak ngewakilin sudut pandang sang empunya sendiri. Post-nya sih memang udah dari bulan Maret 2015 yang lalu (kalau lihat tanggal dari Facebook resmi mereka), tapi gua pribadi, baru ngeh sekarang. Tapi bagi gua miris banget. Sebuah gambar anak kecil lagi main game, dengan kata-kata bijak di atasnya berbunyi begini:
Banyak anak muda yang aslinya cerdas menjadi murid terbelakang karena kesukaan yang berlebihan untuk main games. Hidup ini bukan games, karena terbukti kemiskinan itu pedihnya nyata bagi orang yang menelantarkan masa mudanya.Ngebaca ini,gua pribadi sempat terdiam. Basically, buat belajar mencerna doank apa yang sebenarnya mau disampaiin. Kalimat pertama, oke gua ngerti concern-nya, sesuatu yang udah sering banget kita hadapin ketika ngobrol sama orang awam yang mungkin enggak ngerti sama video game. Oke, ini gua paham. Kalimat kedua? Ini sumber tanda tanya gua yang paling besar. Ada kesan kuat kalau si motivator ini mengasosiasikan bermain game secara berlebihan dengan kemiskinan. Kalau lu main game sampai lupa waktu, lu bakal miskin pas gede. Wow! Ini bukan tahun 1990-an, bung. Ini bukan lagi zaman dimana semua orang yang sukses itu harus Sarjana Ekonomi. Oke, mari kita obrolin ini, pakai logika, kagak pakai kata-kata indah.
Apapun yang Berlebihan = Udah Pasti Enggak Bagus
Gua sebenarnya setuju banget sama kalimat pertama yang ngeluncur di atas, “Banyak anak muda yang aslinya cerdas menjadi murid terbelakang karena kesukaan yang berlebihan untuk main games”. Karena secara logika itu memang bisa benar, walaupun kita punya alternatif argumen lain nantinya. Kalau dipikirin misalnya, lu punya 24 jam dalam sehari, dan lu pakai 8 jam untuk main game, 8 jam untuk tidur, dan 8 jam lainnya buat sekolah = itu berarti lu enggak punya waktu ekstra apapun untuk hal lain. Lu bisa berakhir enggak makan, enggak ngerjain PR, enggak minum, enggak e’ek, atau enggak bernapas malah (yang terakhir memang rada lebay). Logis, intinya ada di kata “berlebihan”. Masalahnya sekarang? Kenapa harus “video game”? Ini yang gua pertanyakan. Karena setahu gua, apapun yang berlebihan itu udah pasti enggak bagus. Enggak percaya? Gua ganti kalimatnya, dan lu lihat aja semua kalimat ini rasional atau enggak.“Banyak anak muda yang aslinya cerdas menjadi murid terbelakang karena kesukaan yang berlebihan untuk berenang”
“Banyak anak muda yang aslinya cerdas menjadi murid terbelakang karena kesukaan yang berlebihan untuk ngupil”
“Banyak anak muda yang aslinya cerdas menjadi murid terbelakang karena kesukaan yang berlebihan untuk naik kuda”
“Banyak anak muda yang aslinya cerdas menjadi murid terbelakang karena kesukaan yang berlebihan untuk liatin angkot bolak-balik di jalan raya”
“Banyak anak muda yang aslinya cerdas menjadi murid terbelakang karena kesukaan yang berlebihan untuk tidur”
It’s the same frakking thing, right? Semua hal di atas mengacu di satu kesimpulan yang sama – kalau lu jatuh cinta sama sesuatu, dan ia makanin waktu lu secara dominan, ia sudah pasti mengganggu semua aktivitas yang lain. Enggak harus video games, even adiksi sekecil ngupil pun misalnya. Gimana caranya lu bisa sukses belajar dan fokus untuk jadi cerdas kalau di otak lu isinya cuman “Gua harus gali lebih dalam, gua harus gali lebih dalam, LEBIH DALAM!”, terus menerus. Apapun yang berlebihan dan mendapatkan prioritas waktu sudah pasti akan berakhir mengorbankan waktu untuk melakukan hal yang lain. Itu matematika sederhana dan logis. Pertanyaan utamanya kembali? Kenapa harus video game? Ini yang menjadi concern utama gua pribadi dan mungkin gamer yang lain. Mengapa video game yang harus dijadikan contoh? Bukankah tontonan televisi juga hal yang sama? Bukankah kesukaan buat nongkrong bareng teman-teman secara berlebihan juga jadi ancaman? Mengapa harus video game, sementara di sisi lain, penelitian ngasih banyak bukti kalau video game bisa munculin banyak efek positif juga jika dimainkan secara proporsional. Dia ngebantu lu buat ngelakuin decision making, dia ngebantu lu buat lebih peka terhadap nilai sosial dan moral, dan pastinya belajar bahasa asing. Apakah ini semata-mata buat nyari sensasi? Atau sang motivator gagal ngelihat kalau media hiburan lain seperti televisi atau bahkan radio, bisa ngehasilin efek yang sama? Gua masih berakhir dengan banyak tanda tanya.