
Banyak anak muda yang aslinya cerdas menjadi murid terbelakang karena kesukaan yang berlebihan untuk main games. Hidup ini bukan games, karena terbukti kemiskinan itu pedihnya nyata bagi orang yang menelantarkan masa mudanya.Ngebaca ini,gua pribadi sempat terdiam. Basically, buat belajar mencerna doank apa yang sebenarnya mau disampaiin. Kalimat pertama, oke gua ngerti concern-nya, sesuatu yang udah sering banget kita hadapin ketika ngobrol sama orang awam yang mungkin enggak ngerti sama video game. Oke, ini gua paham. Kalimat kedua? Ini sumber tanda tanya gua yang paling besar. Ada kesan kuat kalau si motivator ini mengasosiasikan bermain game secara berlebihan dengan kemiskinan. Kalau lu main game sampai lupa waktu, lu bakal miskin pas gede. Wow! Ini bukan tahun 1990-an, bung. Ini bukan lagi zaman dimana semua orang yang sukses itu harus Sarjana Ekonomi. Oke, mari kita obrolin ini, pakai logika, kagak pakai kata-kata indah.
Apapun yang Berlebihan = Udah Pasti Enggak Bagus

“Banyak anak muda yang aslinya cerdas menjadi murid terbelakang karena kesukaan yang berlebihan untuk berenang”
“Banyak anak muda yang aslinya cerdas menjadi murid terbelakang karena kesukaan yang berlebihan untuk ngupil”
“Banyak anak muda yang aslinya cerdas menjadi murid terbelakang karena kesukaan yang berlebihan untuk naik kuda”
“Banyak anak muda yang aslinya cerdas menjadi murid terbelakang karena kesukaan yang berlebihan untuk liatin angkot bolak-balik di jalan raya”
“Banyak anak muda yang aslinya cerdas menjadi murid terbelakang karena kesukaan yang berlebihan untuk tidur”
It’s the same frakking thing, right? Semua hal di atas mengacu di satu kesimpulan yang sama – kalau lu jatuh cinta sama sesuatu, dan ia makanin waktu lu secara dominan, ia sudah pasti mengganggu semua aktivitas yang lain. Enggak harus video games, even adiksi sekecil ngupil pun misalnya. Gimana caranya lu bisa sukses belajar dan fokus untuk jadi cerdas kalau di otak lu isinya cuman “Gua harus gali lebih dalam, gua harus gali lebih dalam, LEBIH DALAM!”, terus menerus. Apapun yang berlebihan dan mendapatkan prioritas waktu sudah pasti akan berakhir mengorbankan waktu untuk melakukan hal yang lain. Itu matematika sederhana dan logis. Pertanyaan utamanya kembali? Kenapa harus video game? Ini yang menjadi concern utama gua pribadi dan mungkin gamer yang lain. Mengapa video game yang harus dijadikan contoh? Bukankah tontonan televisi juga hal yang sama? Bukankah kesukaan buat nongkrong bareng teman-teman secara berlebihan juga jadi ancaman? Mengapa harus video game, sementara di sisi lain, penelitian ngasih banyak bukti kalau video game bisa munculin banyak efek positif juga jika dimainkan secara proporsional. Dia ngebantu lu buat ngelakuin decision making, dia ngebantu lu buat lebih peka terhadap nilai sosial dan moral, dan pastinya belajar bahasa asing. Apakah ini semata-mata buat nyari sensasi? Atau sang motivator gagal ngelihat kalau media hiburan lain seperti televisi atau bahkan radio, bisa ngehasilin efek yang sama? Gua masih berakhir dengan banyak tanda tanya.