Sebuah konsep yang menarik, ini mungkin kesan pertama yang muncul di benak sebagian besar gamer ketika membicarakan game action open-world terbaru racikan Ubisoft – Far Cry Primal. Bagaimana tidak? Bertolak belakang dengan usaha sebagian besar game shooter populer yang terus mendorong tema perang futuristik, bahkan mulai masuk ke ranah sci-fi, ia justru membawa gamer jauh ke masa lalu – dimana manusia bahkan tak berada dalam posisi puncak rantai makanan. Alam jadi musuh terbesar dan perseteruan antara suku primitif yang keduanya secara konsisten berusaha membuat Anda meregang nyawa jadi tema utama. Setelah penantian yang cukup lama, kesempatan untuk mencicipi game ini pun tiba! Lebih cepat satu minggu dari versi PC-nya, Far Cry Primal akhirnya dirilis untuk Playstation 4 dan Xbox One.
Kesan Pertama
Far Cry memang tak pernah gagal menawarkan atmosfer yang tepat sesuai dengan dunia yang memang hendak mereka rancang sebagai tempat “bermain”, dari atmosfer tropis Far Cry 3, dunia “ajaib” Blood Dragon, hingga pegunungan tinggi dan budaya Asia Tengah yang kental di Far Cry 4. Hal yang sama juga berhasil mereka capai di Far Cry Primal ini.
Di dunia dimana teknologi primitif masih berkisar pada senjata untuk membunuh binatang dan beragam ancaman seefektif mungkin, alam masih jadi penguasa yang tak bisa ditaklukkan. Hutan lebat, rumput, binatang liar, eksosistem dimana pemangsa terlihat giat berburu binatang yang lebih lemah, dan kanibalisme menjadi penghias. Sisi positifnya, ia memang cukup untuk membuat Anda percaya bahwa Anda memang tengah berada di sebuah dunia yang tak bersahabat dengan manusia. Sisi negatifnya? Ia terlihat begitu hambar. Komposisi dunia yang lebih banyak dihiasi warna kuning, hijau, dan sedikit orange seperti ini mudah terasa membosankan. Mata Anda tak akan termanjakan dengan warna-warna kontras seperti di Far Cry 4, misalnya.
Lantas, bagaimana dengan aspek gameplay-nya sendiri? Memainkan Far Cry tanpa menggunakan senjata api sama sekali adalah sebuah pengalaman yang terasa baru dan unik, itu yang bisa kami pastikan. Pertarungan menjadi lebih berfokus pada serangan melee, walaupun Anda selalu punya kesempatan untuk menetralisir segala jenis ancaman dari jauh dengan menggunakan panah dan lemparan tombak Anda. Absennya senjata api membuat ancaman dari segi kuantitas menjadi lebih signifikan. Sebagai contoh? Jika di masa api, Anda bisa memberondong serigala dengan senapan mesin dan menang mudah, panah yang harus diluncurkan satu-satu bukanlah metode efektif ketika satu kelompok serigala memutuskan untuk menjadikan Anda sebagai santap malam. Kemampuan Anda sebagai Beastmaster juga memungkinkan Anda untuk menjinakkan dan mengendalikan varian binatang buas tertentu, sesuatu yang akan kita bicarakan di review nanti.
Sayangnya, seperti yang mungkin sudah Anda dan kami prediksi sejak ia pertama kali diperkenalkan, mekanik utama gameplay-nya masih dibawakan dengan “formula” khas Ubisoft walaupun dengan ekstra modifikasi di sana-sini. Sistem “tower” kini berganti menjadi api unggun yang bisa dikuasai untuk membuat akses Fast Travel tersedia, sekaligus membuka beberapa misi sampingan yang ditawarkan dalam bentuk ikon orange menyala di peta. Alternatif misi sampingn untuk ekstra exp dan skill points yang bisa disematkan untuk beragam kategori ini, seperti yang bisa Anda prediksi, juga tak banyak berubah dengan apa yang sudah dilakukan Ubisoft di seri-seri Far Cry sebelumnya. Ada kesan dan atmosfer yang sangat familiar dari mekanisme open-world yang ia usung. Mengagumkan dan juga disayangkan di saat yang sama, bahwa terlepas dari tema yang sudah berubah cukup ekstrim, Ubisoft ternyata masih “menemukan cara” untuk menerapkan formula klasiknya di sini.
Sembari menunggu waktu yang lebih proporsional untuk melakukan review, sekaligus menjelajahi daratan lawas bernama Oros ini lebih mendalam, izinkan kami melemparkan segudang screenshot fresh from oven di bawah ini untuk membantu Anda mendapatkan gambaran lebih jelas soal apa yang ditawarkan oleh Far Cry Primal itu sendiri. KUTUMBABA!