Film adaptasi game, bahkan kalimat yang satu ini saja sudah cukup untuk membuat banyak gamer menggelengkan kepalanya. Terlepas dari konsep yang terdengar sangat menarik, melihat secara langsung bagaimana game-game yang kita cintai kini dihidupkan kembali lewat sebuah film, adaptasi seperti ini justru lebih banyak berujung pada mimpi buruk tersendiri. Sebagian besar pelaku film menabrak batas, mengintepretasikan proyek ini sesuai dengan visi mereka, dan berakhir dengan sebuah film yang sama sekali tidak merepresentasikan kualitas versi video gamenya sendiri. Tidak mengherankan, jika banyak yang melihatnya sekedar sebagai proyek menjual nama besar, dan bukan kualitas. Salah satu film yang berhadapan dengan fenomena ini? Game fightning terpopuler di dunia – Street Fighter.
Street Fighter memang sudah diadaptasikan ke dalam format film, dari sekedar anime hingga Hollywood yang memang ditujukan untuk pasar global. Hasilnya? Seperti yang bisa diprediksi, tidak ada dari kedua film tersebut yang terhitung berhasil menangkap esensi Street Fighter itu sendiri. Film perdananya di tahun 1994 dengan aktor laga – Van Damme sebagai karakter utama berujung pada mimpi buruk, sebuah film Street Fighter yang sekedar “meminjam nama”, dan lebih terasa seperti film Hollywood kelas dua. Sensasi serupa juga terjadi di proyek yang lebih baru, 2009 yang lalu,lewat Street Fighter: The Legend of Chun-Li yang tidak merepresentasikan apa yang disukai gamer dari karakter petarung wanita tersebut. Untungnya, ada satu film penyelamat yang akhirnya, pantas untuk menyandang nama “Street Fighter”.
Benar sekali, kita tengah membicarakan proyek independen – Street Fighter: Assassin’s Fist yang akhirnya dirilis ke dunia maya via portal game Youtube – Machinima. Sempat berusaha dibangun dari proses donasi Kickstarter, Assassin’s Fist akhirnya mendapatkan investor besar yang siap untuk mewujudkan mimpi tim kecil ini – sebuah film Street Fighter yang sesungguhnya. Sebuah mimpi yang berawal dari sekedar trailer yang berhasil menarik perhatian jutaan orang di seluruh dunia.
Lantas, apa yang sebenarnya ditawarkan oleh Street Fighter: Assassin’s Fist ini? Mengapa kami menyebutnya sebagai game Street Fighter yang selama ini kita impikan?
Tepat Sasaran!
Tidak ada omong kosong, ini mungkin kata pertama yang bisa ditangkap dari Street Fighter: Assassin’s Fist inni. Jika Anda termasuk gamer yang sempat mencicipi dua film Street Fighter versi Hollywood, Anda bisa melihat usaha keras sang sutradara untuk mengintepretasikan game yang memang sudah seharusnya tidak masuk akal ini, menjadi sesuatu yang cukup rasional untuk terjadi di dunia nyata. Di aspek inilah, Street Fighter: Legend of Chun-Li mencapai kegagalan terbesar. Gamer yang mencintai Street Fighter sama sekali tidak merasakan karakter petarung wanita ikoniknya diwakilkan dengan baik di sana. Cita rasa fiktif yang mengalir kentara di versi original Street Fighter juga terhitung gagal mewakili karakter unik yang ditawarkan di versi gamenya. Di sinilah, Street Fighter: Assassin’s Fist tampil gemilang.
Sang kreator tampaknya mengerti bahwa gamer membutuhkan sebuah film Street Fighter yang benar-benar mewakili franchise game fighting tersebut, tanpa harus berhadapan dengan serangkaian intepretasi lain yang justru berpotensi merusak pengalaman yang ada. Berfokus pada perjalanan awal dua poros utama Street Fighter – Ryu dan Ken Masters, Anda akan memasuki lebih dalam konflik yang terjadi antara para pewaris ilmu bela diri mematikan – Ansatsuken (Assassination Fist). Anda akan menyelami lebih dalam tentang asal muasal salah satu karakter ikonik – Gouki, konfliknya dengan sang saudara sekaligus guru Ryu dan Ken – Gouken, serta sang guru tua – Goutesu. Semuanya dihadirkan dalam plot maju mundur yang dieksekusi dengan sangat baik, dan minim potensi membingungkan.
Tidak menahan diri, bertahan pada cita rasa Street Fighter yang sebenarnya, Anda akan langsung berhadapan dengan pertempuran penuh dengan gerakan-gerakan ikonik yang selama ini Anda kenal. Mereka akan bertukar Hadoken, Shoryuken, dan Tatsumaki Senpuu Kyaku, memperkuat atmosfer Street Fighter yang sesungguhnya. Efek visual yang ditawarkan pantas diacungi jempol dan tidak terasa “garing” untuk dinikmati. Tidak hanya itu saja, gerakan-gerakan ikonik kecil seperti tendangan dan pukulan dari masing-masing karakter juga divisualisasikan dengan baik, memperlihatkan seperti apa implementasi gerakan-gerakan ini jika digunakan di dunia nyata. Gerakan-gerakan brutal milik Gouki juga diperlihatkan di sini.
Namun jika membicarakan nilai jual utama Street Fighter: Assassin’s Fist, maka kekuatan seri ini mendasar pada eksekusi plot yang luar biasa. Semua gerakan ikonik dan efek visual yang ada sekedar menjadi pelengkap dari plot yang memang harus diakui, dibangun dengan sangat manis. Di beberapa episode awal, Anda bisa menangkap sedikit gambaran kedekatan antara karakter Ryu dan Ken sebagai “saudara” di bawah bimbingan Gouken, serta konflik dan persaingan di antara keduanya. Namun perlahan namun pasti, Anda mulai diperkenalkan dengan origin dari salah satu karakter Street Fighter paling populer – Gouki. Drama dan konflik dibangun dengan pelan, namun pasti, menciptakan latar belakang yang kuat untuk setiap karakter. Menariknya lagi? Street Fighter: Assassin’s Fist juga lahir menjadi semacam prekuel yang menceritakan alasan di balik perjalanan Ryu dan Ken yang mengelilingi dunia untuk mencari petarung-petarung terbaik.
Anda yang cukup memerhatikan detail fisik karakter untuk dapat menikmati sebuah film mungkin akan sedikit kecewa dengan Street Fighter: Assassin’s Fist ini. Mengapa? Karena pada dasarnya detail fisik karakter di versi game Street Fighter hampir mustahil untuk dicapai. Di versi gamenya, Gouken ditawarkan dengan visual dengan seorang kakek tua dengan otot kekar dan kemampuan fisik yang luar biasa. Sementara di Street Fighter: Assassin’s Fist, ia tampil dengan fisik khas seorang guru bela diri yang tidak terlihat spesial, walaupun Anda tetap bisa melihat seberapa kuat ia. Namun demikian, acungan jempol pantas diarahkan untuk cast Gouki dan Ken Masters yang luar biasa. Keduanya tampil representatif dengan versi gamenya. Keputusan untuk menggunakan desain Ken Masters dari Street Fighter Alpha 3 dengan rambut panjangnya jadi sebagian besar episode juga menjadi nilai tambah tersendiri.
Sayangnya, terlepas dari gerakan-gerakan pertarungan nan akrobatik yang berhasil dieksekusi dengan baik, kualitas akting para cast tidak terlalu meyakinkan. Selain karakter Sayaka – yang menjadi cinta pertama dan terakhir Gouki – tidak ada hal yang menjual dari sisi akting. Beberapa aksi terlihat canggung dengan dialog yang kentara bersumber dari script tanpa emosi. Parahnya lagi, si sutradara seolah bimbang untuk memutuskan bahasa apa yang harus ia gunakan sebagai narasi utama Street Fighter: Assassin’s Fist ini. DI beberapa episode, mereka berbicara dengan bahasa Jepang yang tentu saja cocok, mengingat setting utama yang memang berpusat di negara matahari tersebut. Namun tanpa alasan yang jelas, tiba-tiba para karakter ini berbicara dengan bahasa Inggris penuh aksen yang sulit untuk dimengerti. Parahnya lagi, mereka seolah berjuang mati-matian untuk mengekspresikan diri lewat bahasa ini, padahal dari sisi cerita, ia tidak terhitung esensial. Hal ini semakin tidak rasional mengingat Ken sendiri mengerti bahasa Jepang.