Ambisius adalah kata yang tepat untuk menjelaskan apa yang tengah dipersiapkan Supermassive Games selepas kontrak eksklusif mereka dengan Sony berakhir. Di bawah bendera Bandai Namco, mereka langsung melepas sebuah proyek raksasa bernama “The Dark Pictures Anthology” yang rencananya akan dilepas ke dalam beberapa seri berbeda dengan setting dan juga cerita yang bervariasi pula. Yang menjadi benang merah di antara mereka hanyalah sosok karakter bernama “The Narrator” yang berperan bak seorang pembawa acara untuk setiap seri yang ada. Setelah Man of Medan dan The Little Hope, ia kini kembali dengan House of Ashes.
Sejujurnya, ada sedikit kelelahan ketika berbicara soal The Dark Pictures Anthology. Mengapa? Karena dari dua seri pertama – Man of Medan dan The Little Hope, ada tendensi bahwa Supermassive Games tidak berani membawa franchise ini ke level “supernatural” yang seharusnya. Bahwa konsep kengerian yang ia usung entah karena alasan apa, terus ditutup dengan penjelasan-penjelasan logis yang seolah menganulir semua ketakutan yang sudah Anda rasakan sebelumnya. Mengingat House of Ashes kini mendorong konsep monster yang sudah ia perkenalkan sejak trailer perdana, tentu menarik apakah Supermassive Games kembali harus terjebak dalam konsep yang sama.
Lantas, apa yang sebenarnya ditawarkan oleh The Dark Pictures: House of Ashes ini? Mengapa kami menyebutnya sebagai seri yang selangkah lebih baik? Review ini akan membahasnya lebih dalam untuk Anda.
Plot
[caption id="attachment_130941" align="aligncenter" width="3840"]
House of Ashes menjadikan perang Irak di tahun 2003 silam sebagai setting utama.[/caption]
House of Ashes sendiri menggunakan perang Irak di tahun 2003 sebagai setting utama. Anda akan berperan sebagai karakter dari dua kubu yang tengah berperang, tentara Amerika Serikat dan Irak yang karena satu ketidaksengajaan, terlibat dalam sebuah situasi mengancam yang sama. Situasi yang tidak bisa dinalar dengan logika.
Tentara Amerika Serikat yang berisikan: Eric King, Jason Kolchcek, Nick Kay, dan Rachel King berujung menginvasi sebuah desa di pedalaman Irak karena diyakini merupakan tempat persembunyian senjata pemusnah massal milik Sadam Hussein. Sementara di sisi lain, dari kubu Irak, seorang prajurit – Lt. Salim Othman juga bergerak menuju ke sana untuk merespon invasi yang akhirnya terdengar ke telinga pasukan Irak. Namun tak terprediksi, pertarungan antara kedua kubu ini tiba-tiba harus terhenti karena sebuah guncangan besar. Mereka pun terjatuh ke dalam lubang-lubang yang tercipta.
[caption id="attachment_130942" align="aligncenter" width="3840"]
Gempa membuat kedua belah pihak yang bertikai jatuh ke dalam struktur megah nan misterius.[/caption]
[caption id="attachment_130944" align="aligncenter" width="3840"]
Alih-alih harta karun, mereka justru disambut monster-monster menyeramkan.[/caption]
Ternyata oh ternyata, ada sebuah peradaban yang hilang tersembunyi di bawah desa tersebut. Ia merupakan bekas kerajaan Mesopotamia yang sempat dikuasai oleh raja bernama Naram-Sin. Dengan bentuk kuil-kuil dengan patung raksasa, ia memang terlihat seperti sebuah peradaban yang sempat mencapai masa keemasannya. Namun yang ditemui oleh para pasukan Amerika Serikat dan Irak tersebut bukanlah emas dan harta karun, melainkan barisan monster menyeramkan yang haus darah. Nasib mereka kini pun tak berbeda dengan binatang buruan.
Mampukah mereka selamat dari ancaman seperti ini? Darimana pula asal monster-monster menyeramkan yang terjebak di dalamnya? Ancaman seperti apa yang harus mereka lalui? Apakah Supermassive Games akan kembali menawarkan pendekatan “rasional” untuk kisah yang sudah terjun bebas ke dalam ranah absurd ini? Anda tentu saja harus memainkan House of Ashes untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini.