Anda selalu bisa mengandalkan Nintendo untuk dua hal: menciptakan sebuah game dengan konsep yang tak pernah Anda perkirakan sebelumnya, dan tetap menjadikannya sebagai game “ramah” untuk keluarga. Tak percaya? Lihat saja apa yang mereka berhasil mereka lakukan dengan Splatoon. Ketika game third person shooter dengan multiplayer kompetitif sebagai fokus seringkali berakhir jadi pertempuran penuh darah, potongan tubuh, dan mayat, Splatoon menawarkan keseruan yang sama dalam konsep yang berbeda. Alih-alih peluru, mereka menggunakan tinta warna-warni tanpa harus mengorbankan nyawa sama sekali. Terus berinovasi dan tak takut untuk menjajal beragam konsep yang ada, Nintendo juga mempersiapkan satu judul game baru – ARMS.
Diperkenalkan bersama dengan pengumuman soal Nintendo Switch di awal, ARMS bersama dengan 1-2-Switch adalah satu dari dua buah game yang diracik Nintendo untuk “memamerkan” kemampuan kontroler bawaan produk teranyar tersebut – Joy-Con. Jika 1-2-Switch berisikan beragam mini game yang didesain untuk memeriahkan acara sosial apapun yang tengah Anda selenggarkan, ARMS adalah sebuah game kompetitif yang diracik dengan pendekatan yang lebih konvensional. Bedanya? Game yang menitikberatkkan sensasi pada pertarungan tinju antara karakter-karakter fiktif ini juga akan lebih optimal untuk dinikmati dengan Joy-Con itu sendiri.
Lantas, apa yang sebenarnya ditawarkan oleh ARMS? Mengapa kami menyebutnya sebagai game tinju-meninju yang menyenangkan? Review ini akan membahasnya lebih dalam untuk Anda.
Plot
Mengikuti sebagian besar desain game fighting yang ada, ARMS memang tidak menjadikan plot sebagai sebuah fokus. Seolah betolak belakang dengan beberapa game fighting raksasa modern lain seperti Street Fighter V, Injustice 2, atau Tekken 7 yang berusaha menghadirkan mode campaign dengan cerita yang jelas dan sudut pandang sinematik, ARMS memilih pendekatan klasik yang ada. Ini adalah sebuah game yang meminta Anda untuk sekedar terjun masuk dan bersenang-senang dengan konten apa yang mereka tawarkan.
Nintendo bahkan menawarkan deskripsi yang sangat minim terkait apa yang terjadi dengan dunia ARMS itu sendiri. Mereka hanya menuliskan bahwa ini adalah pertarungan antara para petarung elite dengan kemampuan untuk memanjangkan tangan mereka. Satu-satunya mode single-player ala campaign yang bisa Anda nikmati di sini adalah Grand Prix – sebuah turnamen yang akan meminta Anda untuk menundukkan setidaknya 10 karakter musuh yang dikendalikan oleh AI dengan ragam tingkat kesulitan untuk dinyatakan “menang”. Tak ada cerita jelas di sini selain usaha untuk meraih predikat sebagai yang terbaik, namun setidaknya, Anda akan bertemu dengan sedikit latar belakang cerita untuk karakter yang Anda gunakan dan akan Anda hadapi.
Apakah absennya mode story untuk ARMS ini berpengaruh banyak pada seberapa kami menikmatinya? Mau tak mau harus diakui, memang sangat disayangkan bahwa Nintendo tidak tertarik untuk mengeksplorasi hal ini lebih jauh. Mengingat kombinasi karakter wanita, pria, dan non-manusia yang terlibat di dalamnya, ARMS sebenarnya sudah punya sebuah pondasi yang solid untuk membangun cerita yang kuat, alasan untuk membangun rivalitas yang membuatnya kian menarik, atau sekedar penjelasan lebih kuat mengapa karakter-karakter yang muncul dari seluruh dunia ini berjuang untuk saling memanjangkan tangan dan berusaha menghajar wajah yang lainnya.
Mengapa? Karena Blizzard sendiri sudah membuktikan, bahwa kombinasi cerita yang kuat dan karakter yang ikonik di Overwatch adalah resep untuk daya tarik yang lebih kuat, tak hanya untuk komunitas saja, tetapi juga mereka yang masih awam. Sangat disayangkan, ia disia-siakan di ARMS ini.