Ada perasaan puas dan senang ketika melihat banyak developer game, bahkan yang tengah mengembangkan game untuk publisher raksasa sekalipun mulai berusaha menjauh dari ragam produk game mainstream yang memang tak banyak berbeda satu sama lain. Mereka mulai berani mengeksplorasi konsep gameplay yang belum pernah ada sebelumnya, atau sekedar memodifikasi, melebur, atau menyempurnakan konsep yang sudah ada dan melahirkan pengalaman bermain baru yang bisa saja, berakhir lebih baik. Sony bisa dibilang merupakan salah satu yang secara konsisten memberikan ruang bagi developer untuk melakukan hal tersebut. Lihat saja beragam proyek yang diracik Media Molecule seperti Little Big Planet dan Dreams yang menjadkan kreativitas sebagai batas.
Tahun 2016 memang dipenuhi dengan banyak game raksasa yang pantas ditunggu, eksklusif ataupun tidak. Ada satu game racikan Q-Games dan Sony yang mungkin tak tertangkap radar dengan pasti terutama karena minimnya informasi yang beredar berkaitan dengan game yang satu ini terlepas dari eksistensinya yang sudah diperkenalkan sejak Agustus 2014 silam. The Tommorow Children di kala itu hanya memperlihatkan sebuah visual unik, tema negara komunis yang kental, dengan pekerja anak sebagai karakter utama. Janjinya di kala itu adalah sebuah game yang memungkinkan Anda untuk membangun sebuah kota yang berfungsi penuh bersama dengan player lainnya. Sebuah konsep yang tentu saja, pantas untuk diantisipasi.
Walaupun The Tomorrow Children sendiri masih belum memiliki tanggal rilis, kesempatan untuk mencicipinya lebih awal akhirnya tiba. Beberapa gamer yang beruntung berhak mendapatkan akses beta untuk merasakannya secara langsung, termasuk kami. Lantas, apa yang ditawarkan oleh The Tomorrow Children ini? Mengapa kami menyebut diri kami butuh lebih diyakinkan sebelum mulai meliriknya terlepas dari statusnya sebagai sebuah game eksklusif? Kami akan membahasnya lebih dalam di impresi beta The Tomorrow Children ini.
Apa itu The Tomorrow Children?
Dengan teaser pertama yang diperlihatkan Q-Games di ajang Gamescom 2014 yang lalu dan beragam klaim yang sempat menyertainya, lengkap dengan pendekatan visualisasi unik dan tema komunitas yang kentara di dalamnya, The Tomorrow Children memang terlihat sebagai proyek game berbeda yang menarik untuk diantisipasi. Namun pertanyaan yang paling utama dan esensialnya sendiri masih belum terjawab. Apa yang sebenarnya ditawarkan oleh game yang satu ini dan mekanik gameplay seperti apa yang ia tawarkan? Sayangnya, kami sendiri masih belum bisa memberikan sebuah penjelasan lebih rinci terkait hal tersebut.
Mengapa? Karena kritik tampaknya pantas untuk dilayangkan di masa beta yang berakhir tak seoptimal yang dibayangkan ini. Masa betanya sendiri direncanakan berjalan selama 3 hari dari tanggal 21 – 23 Januari 2016 kemarin. Dengan gameplay yang cukup mengandalkan konsep multiplayer di dalamnya, logikanya Anda hanya butuh koneksi internet yang memadai untuk bisa menikmatinya di region apapun yang dipilih oleh akun Anda. Namun sayangnya, tak terjadi demikian. Kami sempat menjajalnya sekitar 3-4 jam di hari pertama beta dan kemudian beristirahat. Ketika berusaha menjajalnya kembali keesokan hari, tertulis server tengah mengalami maintenance. Diikuti dengan usaha untuk kembali memainkannya di malam hari dan lagi lusanya dengan jadwal yang sama, dan tidak juga terhubung. Tak hanya kami, kami juga menemukan bahwa banyak user yang mengeluhkan keanehan yang sama di dunia maya. Oleh karena itu, impresi ini ditulis berdasarkan apa yang kami rasakan dan temukan selama masa beta tersebut tersedia. Dan kami yakin, 4 jam saja akan cukup untuk menggali kedalaman game unik yang satu ini.
Sejak pertama kali Anda mencicipinya, Anda bisa merasakan atmosfer sebuah cita rasa negara komunis masa lalu yang begitu kentara, terutama dari era Uni Soviet. Pendekatan visual yang unik seperti membawa Anda pada sebuah dunia berbasis kertas yang unik dan menyeramkan di saat yang sama. Seperti Anda bisa merasakan kegelapan, kekelaman, dan sulitnya hidup masa lampau tersebut, apalagi mengingat karakter yang Anda gunakan merupakan seorang pekerja anak yang sejak awal eksistensinya saja sudah menelan begitu banyak propaganda bagaimana kekuatan fisik Anda akn membantu membangun negara. Namun terlepas dari atmosfer tersebut, The Tomorrow Children mengambil setting sebuah dunia fiktif bernama The Void – yang terlihat seperti sebuah padang putih yang mengundang Anda untuk dibangun. Di beberapa titik, terlihat beberapa monster raksasa yang muncul sebagai ancaman.
Dari sisi gameplay, Anda bisa melihatnya sebagai sebuah game yang terinspirasi dari Minecraft. Fokus permainan akan sangat bergantung pada kegiatan menambang lebih banyak sumber daya untuk tak hanya bertahan hidup, tetapi juga membuat peralatan yang lebih baik. Tak hanya sekedar beragam peralatan seperti menebang pohon, menambang mineral, atau sekedar menggali kedalaman tanah, Anda juga bisa membangun ragam senjata untuk “membunuh” beragam monster yang bisa muncul sebagai sumber ancaman yang tak bisa dikesampingkan begitu saja. Inti dari The Tomorrow Children adalah sistem yang hampir serupa dengan Minecraft, yang tentu Anda tampaknya sudah familiar. Lantas, apa yang membuatnya berbeda dari sekedar visual? Jawabannya, multiplayer.