Quantcast
Channel: Features – Jagat Review
Viewing all articles
Browse latest Browse all 1742

JagatPlay NgeRacau: Hal yang Dipelajari Gamer Dari 2014!

$
0
0
ac unity

ac unity

ac unity Enggak terasa, kita udah memasuki minggu kedua di tahun 2015. Tapi seolah susah banget beranjak dari mood liburan, awal tahun ini kagak nawarin apapun yang menarik buat gamer. Hampir sebagian besar game raksasa yang ngeluncur semacam Dying Light, Resident Evil HD Remaster, atau GTA V PC baru bakalan keluar at least di minggu ketiga, yang otomatis ngasih kesempatan buat gamer buat sedikit reflektif buat ngelihatin aktivitas yang udah mereka lakuin di 12 bulan yang lalu. Dan sayangnya, seperti tahun-tahun sebelumnya, 2014 itu bukan tahun yang sempurna buat gaming. Bahkan bisa dibilang, justru berujung sedikit mengkhawatirkan. Kalau dilihat dari rangkaian judul baru yang dirilis tahun lalu, 2014 memang seharusnya jadi salah satu tahun terbaik di industri game. Developer udah mulai berfokus ke konsol generasi terbaru dan imbasnya, game-game yang meluncur hadir dengan visual yang luar biasa cakep. Beberapa publisher juga ngeluarin IP-IP baru mereka yang udah ditunggu cukup lama, dengan klaim di sana sini. Namun sayangnya, enggak sedikit yang akhirnya berujung kekecewaan. Terlepas dari semua dinamika yang terjadi tahun lalu, ada banyak hal yang sebenarnya bisa kita pelajarin di sana. Hal-hal yang seharusnya mulai mempengaruhi sikap kita sebagai gamer, sebagai seorang konsumen yang memang dituntut untuk mulai bersikap dan berpikir lebih pintar. Intinya, adalah menjadi jauh lebih bijaksana  di tahun 2015 ini. Semacam jadi tamparan keras yang sulit banget buat diabaikan begitu aja kalau tahun 2014 menyimpan banyak pelajaran berharga yang seharusnya bisa ngehindarin kita jadi semacam sumber uang tanpa otak buat para publisher di luar sana, apalagi kalau Anda termasuk gamer yang mulai nabung mati-matian buat ngebeli game-game original. Gua yakin, tahun 2014 udah bikin sebagian besar dari kita jadi seorang gamer yang….

Lebih Kritis Soal Hype

Hype! Hype! Hype! Gamer mana sih yang kagak bakalan nunggu Watch Dogs dan Destiny di tahun 2014 kemarin? Udah cukup lama dikenalin, ini dua nama selalu disebut-sebut bakalan tampil sebagai game generasi terbaru yang enggak cuman cakep secara visual, tapi hadir dengan ekstra konten yang ngasih pengalaman yang belum ada sebelumnya. Watch Dogs datang sebagai game open-world dengan tema hacking. Jadi seorang peretas yang juga bisa beraksi layaknya tokoh protagonis klise di film-film, Watch Dogs diharepin bisa nawarin sebuah konsep game yang baru. Di saat yang sama, Destiny juga begitu. Untuk sebuah game yang diklaim memakan uang pengembangan paling tinggi sepanjang masa – atau sekitar USD 500 juta, kita sebagai gamer tentu berharap lebih. Apalagi si Activision sempat gembar-gembor kalau Destiny bakalan jadi sebuah kontrak franchise 10 tahun. Hype udah terbangun, iler udah jatuh ke lantai, dan mata udah enggak bisa lagi beranjak ke game lain. Hasilnya? Jijik. Apa yang bisa dipelajarin dari kasus Watch Dogs dan Destiny ini? Kesadaran bahwa video game itu sebuah bisnis yang didesain buat satu tujuan utama – ngejar keuntungan, dan gamer adalah gudang uang yang jadi target utama ini bisnis. Seperti halnya sebuah produk minuman kesehatan, klinik kesehatan ajaib, atau  bahkan celana dalam pria, publisher game dituntut buat nempuh proses marketing yang efektif buat mastiin kita – sebagai gamer, jatuh hati sejak pandangan pertama. Semua janji digembar-gemborkan sejak awal. Trailer diracik biar tampil dengan visual secakep mungkin, konten disebut-sebut bakalan beda, dan semua kata-kata manis dilemparin sejak trailer pengenalan dan screenshot perdana. Pada intinya, industri game gak beda sama tukang obat tepi jalan yang teriak-teriak kalau ramuan racikannya dalam botol kecil itu bisa nyembuhin berbagai penyakit, tapi ditempuh dengan sistem yang lebih elegan dan mahal tentunya. “Boleh bang, mbak, gamenya….”, kalau bisa disamaiin.

Ngerti Kalau Raksasa Bukan Berarti Sempurna

Lahir dari nama besar publisher enggak jadi indikator pasti kalau produk yang keluar bakalan oke punya. Bisa jadi, sebaliknya. “Raksasa bukan berarti sempurna.. Lu habis nyimeng ya, Plad?”. Oke sabar, sebelum gua dituduh yang macem-macem, ada yang mesti gua jelasin di sini. Ini buat ngungkapin aja kalau ternyata developer dan publisher yang selama ini dikenal “raksasa” dengan budget yang hampir enggak ada batasnya bisa jadi indikator kalau produk yang mereka racik ternyata akan berujung jadi game keren yang lu mau. Tahun 2014 udah sangat ngebuktiin kalau nama besar macam Ubisoft dan Activision justru “f*ck up” dengan franchise-franchise yang seharusnya udah jadi kekuatan utama mereka, semata-mata karena satu hal – serakah. Memang terlihat ada usaha buat berbenah diri dan minta maaf soal kesalahan apa yang udah mereka buat, tapi kelihatan banget sekedar kosmetik. Assassin’s Creed Unity dan Destiny adalah dua alasan kenapa kita enggak bisa sekedar percaya aja soal nama besar publisher. Dan ini sebuah tren yang juga mesti diperhatiin di tahun 2015 ini. Beda cerita mungkin kalau kita ngebicaraiin nama besar kayak Rockstar atau Naughty Dog yang sejauh ini track record nya udah jelas dan enggak pernah ngecewaiin sama sekali. Namun untuk game-game yang keluar dari nama seperti Sega, Activision, Ubisoft, atau Gearbox, misalnya, harus ada sikap mental buat enggak ngasih ekspektasi yang berlebihan kalau enggak mau kecewa. Ini juga jadi semacam peringatan untuk ngasih perhatian lebih justru ke developer-developer kecil yang mungkin enggak pernah punya kesempatan dapat spotlight, terutama mereka yang berada di jalur indie. Percaya mati sama publisher raksasa? Jangan sampai semua iler yang udah jatuh berujung jadi air mata penyesalan. Halah, gimana ceritanya coba..

Viewing all articles
Browse latest Browse all 1742

Trending Articles